Dasar
Hukum Perlindungan Konsumen
11.1 Konsumen
Pengertian konsumen menurut ketentuan
pasal 1 angka 2 undang undang no 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen
,Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat,
baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup
lain dan tidak untuk diperdagangkan.
11.2
Asas dan tujuan
Asas perlindungan konsumen diatur dalam Pasal 2 UUPK 8/1999, yaitu sebagai berikut:
a. Asas Manfaat
Segala upaya yang dilakukan dalam
penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat yang
sebesar-besarnya bagi konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan. Dengan kata
lain, tidak boleh hanya salah satu pihak saja yang memperoleh manfaat, sedangkan
pihak lain mendapatkan kerugian.
b. Asas Keadilan
Dalam hal ini, tidak selamanya
sengketa konsumen di akibatkan oleh kesalahan pelaku usaha saja, tetapi bisa
juga di akibatkan oleh kesalahan konsumen yang terkadang tidak tahu akan
kewajibannya. Konsumen dan produsen/pelaku usaha dapat berlaku adil melalui
perolehan hak dan kewajiban secara seimbang.
c. Asas Keseimbangan
Asas keseimbangan ini dimaksudkan
untuk memberikan keseimbangan antara hak dan kewajiban para pelaku usaha dan konsumen.
Menghendaki konsumen, produsen/pelaku usaha dan pmerintah memperoleh manfaat
yang seimbang dari pengaturan dan penegakan hukum perlindungan konsumen.
d. Asas Keamanan dan Keselamatan
Asas ini bertujuan untuk
memberikan adanya jaminan hukum bahwa konsumen akan memperoleh manfaat dari
produk yang dikonsumsi/dipakainya, dan sebaliknya bahwa produk itu tidak akan
mengancam ketentraman dan keselamatan jiwa dan harta bendanya.
e. Asas Kepastian Hukum
Asas ini bertujuan untuk
memberikan kepastian hukum agar pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan
menjalankan apa yang menjadi hak dan kewajibannya. Tanpa harus membebankan
tanggung jawab kepada salah satu pihak, serta negara menjamin kepastian hukum.
Perlindungan konsumen bertujuan
untuk memberikan kepastian dan keseimbangan hukum antara produsen dan konsumen
sehingga terwujud suatu perekonomian yang sehat dan dinamis sehingga terjadi
kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.
Tujuan perlindungan konsumen diatur dalam dalam Pasal 3 UUPK 8/1999, yaitu sebagai berikut:
Tujuan perlindungan konsumen diatur dalam dalam Pasal 3 UUPK 8/1999, yaitu sebagai berikut:
- Meningkatkan kesadaran,
kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri.
- Mengangkat harkat dan
martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif
pemakaian dan/atau jasa.
- Meningkatkan pemberdayaan
konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai
konsumen.
- Menciptakan sistem
perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan
keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.
Keinginan yang hendak dicapai
dalam perlindungan konsumen adalah menciptakan rasa aman bagi konsumen dalam
memenuhi kebutuhan hidup. Dalam menegakkan hukum perlindungan diperlukan
pemberlakuan asas-asas yang berfungsi sebagai landasan penempatan hukum.
11.3
Hak dan Kewajiban Konsumen
Istilah perlindungan konsumen
berkaitan dengan perlindungan hukum. Dengan keinginan untuk memberikan
perlindungan terhadap kepentingan konsumen, maka kepentingan-kepentingan itu
dirumuskan dalam bentuk hak. Secara umum terdapat empat hak dasar konsumen yang
diakui secara internasional yaitu: Hak untuk mendapatkan keamanan (the right to safety), Hak untuk mendapatkan informasi (the right to be informed), Hak untuk memilih (the right to choose), Hak untuk didengar (the right to be heard) (Shidarta, 2000:16).
Hak-hak konsumen diatur dalam pasal 4 UUPK 8/1999, yaitu sebagai berikut:
Hak-hak konsumen diatur dalam pasal 4 UUPK 8/1999, yaitu sebagai berikut:
- Hak atas kenyamanan dan
keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan atau jasa.
- Hak untuk memilih barang dan
jasa serta mendapatkan barang dan atau jasa tersebut dengan nilai tukar
dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.
- Hak atas informasi yang
benar, jelas dan jujur mengenai kondisi jaminan barang dan atau
jasa.
- Hak untuk di dengar pendapat
dan keluhannya atas barang dan atau jasa yang digunakan.
- Hak untuk mendapatkan advokasi
perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara
patut.
- Hak untuk mendapat pembinaan
dan pendidikan konsumen.
- Hak untuk diperlakukan atau
dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.
- Hak untuk mendapatkan kompensasi
ganti rugi atau penggantian, apabila barang dan jasa yang diterima tidak
sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
- Hak-hak yang diatur dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Sedangkan Kewajiban konsumen
diatur dalam Pasal 5 UUPK 8/1999, yaitu sebagai berikut:
- Membaca atau mengikuti
petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan atau
jasa demi keamanan dan keselamatan.
- Bertikad baik dalam
melakukan transaksi pembelian barang dan jasa.
- Membayar sesuai dengan nilai
tukar yang disepakati.
- Mengikuti upaya penyelesaian
hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
11.4
Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha
Menurut Pasal 1
angka 4 dan 5 UUPK 8/1999, Pelaku Usaha adalah setiap orang perseorangan atau
badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang
didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara
Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian
menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.
Pelaku usaha
merupakan salah satu komponen yang turut bertanggung jawab dalam perlindungan
konsumen. Maka di dalam berbagai peraturan perundang-undangan dibebankan
sejumlah hak dan kewajiban serta hal-hal yang menjadi tanggung jawab pelaku
usaha.
Hak pelaku usaha
diatur dalam Pasal 6 UUPK 8/1999, yaitu sebagai berikut:
- Hak untuk menerima
pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar
barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
- Hak untuk mendapat
perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik.
- Hak untuk melakukan
pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen.
Sedangkan kewajiban pelaku usaha
diatur dalam Pasal 7 UUPK 8/1999, yaitu sebagai berikut:
- Beritikad baik dalam
melakukan kegiatan usahanya.
- Memperlakukan atau melayani
konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.
- Menjamin mutu barang
dan/atau jasa yang diproduksi atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan
standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku.
- Memberikan kompensasi, ganti
rugi, apabila barang dan/jasa yang diterima atau dimanfaatkan konsumen
tidak sesuai dengan perjanjian.
11.5 Perbuatan
Yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha
Pasal
8
1. Pelaku
usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang:
a. tidak
memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
b. tidak
sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan
sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
c. tidak
sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut
ukuran yang sebenarnya;
d. tidak
sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan
dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut,
e. tidak
sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau
penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang
dan/atau jasa tersebut;
f. tidak
sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau
promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
g. tidak
mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang
paling baik atas barang tersebut;
h. tidak
mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal”
yang dicantumkan dalam label;
i. tidak
memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran,
berat / isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan,
akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk
penggunaan yang menurut ketentuan harus di pasang/dibuat;
j. tidak
mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa
Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
2. Pelaku
usaha dilarang memperdagangkan barang yang, rusak, cacat atau bekas, dan
tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang
dimaksud.
3. Pelaku
usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat
atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa rnemberikan informasi secara lengkap
dan benar.
4. Pelaku
usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat 1 dan ayat 2 dilarang
memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari
peredaran.
Pasal
9
1. Pelaku
usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan/atau
jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah:
a. barang
tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga, harga khusus, standar
mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau
guna tertentu;
b. barang
tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru;
c. barang
dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan dan/atau memiliki sponsor persetujuan,
perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau aksesori
tertentu;
d. barang
dan/atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor,
persetujuan atau afiliasi;
e. barang
dan/atau jasa tersebut tersedia;
f. barang
tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi;
g. barang
tersebut rnerupakan kelengkapan dari barang tertentu;
h. barang
tersebut berasal dari daerah tertentu;
i. secara
langsung atau tidak langsung merendahkan barang dan/atau jasa lain;
j. menggunakan
kata-kata yang berlebihan, seperti aman tidak berbahaya, tidak mengandung
risiko atau efek sampingan tanpa keterangan yang lengkap;
k. menawarkan
sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.
2. Barang
dan/atau jasa sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilarang untuk diperdagangkan.
3. Pelaku
usaha yang melakukan pelanggaran terhadap ayat 1 dilarang melanjutkan
penawaran, promosi, dan pengiklanan barang dan/atau jasa tersebut.
Pasal
10
Pelaku usaha dalam
menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang
menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak
benar atau menyesatkan mengenai:
a. harga
atau tarif suatu barang dan/atau jasa;
b. kegunaan
suatu barang dan/atau jasa;
c. kondisi,
tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang dan/atau jasa;
d. tawaran
potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan;
e. bahwa
penggunaan barang dan/atau jasa.
Pasal
11
Pelaku usaha dalam
hal penjualan yang dilakukan melalui cara obral atau lelang, dilarang
mengelabui/menyesatkan konsumen dengan:
a. menyatakan
barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah telah memenuhi standar mutu tertentu;
b. menyatakan
barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah tidak mengandung cacat tersembunyi;
c. tidak
berniat untuk menjual barang yang ditawarkan melainkan dengan maksud untuk
menjual barang lain;
d. tidak
menyediakan barang dalam jumlah tertentu dan/atau jumlah yang cukup dengan
maksud menjual barang yang lain;
e. tidak
menyediakan jasa dalam kapasitas tertentu atau dalam jumlah cukup dengan maksud
menjual jasa yang lain;
f. menaikkan
harga atau tarif barang dan/atau jasa sebelum melakukan obral.
Pasal
12
Pelaku usaha dilarang
menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan suatu barang dan/atau jasa dengan
harga atau tarif khusus dalam waktu dan jumlah tertentu, jika pelaku usaha
tersebut tidak bermaksud untuk melaksanakannya sesuai dengan waktu dan jumlah
yang ditawarkan, dipromosikan, atau diiklankan.
Pasal
13
1. Pelaku
usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan suatu barang
dan/atau jasa dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa
lain secara cuma-cuma dengan maksud tidak memberikannya atau memberikan tidak
sebagaimana yang dijanjikannya.
2. Pelaku
usaha dilarang menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan obat, obat
tradisional, suplemen makanan, alat kesehatan, dan jasa pelayanan kesehatan
dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa lain.
Pasal
14
Pelaku usaha dalam
menawarkan barang dan/atau jasa yang, ditujukan untuk diperdagangkan dengan
memberikan hadiah melalui cara undian, dilarang untuk:
a. tidak
melakukan penarikan hadiah setelah batas waktu yang dijanjikan;
b. mengumumkan
hasilnya tidak melalui media masa;
c. memberikan
hadiah tidak sesuai dengan yang dijanjikan;
d. mengganti
hadiah yang tidak setara dengan nilai hadiah yang dijanjikan;
Pasal
15
Pelaku usaha dalam
menawarkan barang dan/atau jasa dilarang melakukan dengan cara pemaksaan atau
cara lain yang dapat menimbulkan gangguan baik fisik maupun psikis terhadap
konsumen.
Pasal
16
Pelaku usaha dalam
menawarkan barang dan/atau jasa melalui pesanan dilarang untuk:
a. tidak
menepati pesanan dan/atau kesepakatan waktu penyelesaian sesuai dengan yang
dijanjikan;
b. tidak
menepati janji atas suatu pelayanan dan/atau prestasi.
Pasal
17
1. Pelaku
usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang:
a. mengelabui
konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan dan harga barang
dan/atau tarif jasa serta ketepatan waktu penerimaan barang dan/atau jasa;
b. mengelabui
jaminan/garansi terhadap barang dan/atau jasa;
c. memuat
informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat mengenai barang dan/atau jasa;
d. tidak
memuat informasi mengenai risiko pemakaian barang dan/atau jasa;
e. mengeksploitasi
kejadian dan/atau seseorang tanpa seizin yang berwenang atau persetujuan yang
bersangkutan;
f. melanggar
etika dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai periklanan.
2. Pelaku
usaha periklanan dilarang melanjutkan peredaran iklan yang telah melanggar
ketentuan pada ayat 1.
11.5
Klausula
baku dalam perjanjian
Pasal
18
1. Pelaku
usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan
dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau
perjanjian apabila:
a. menyatakan
pengalihan tanggungjawab pelaku usaha;
b. menyatakan
bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli
konsumen;
c. menyatakan
bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas
barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
d. menyatakan
pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung, maupun
tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan
barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
e. mengatur
perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang
dibeli oleh konsumen;
f. memberi
hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta
kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
g. menyatakan
tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan
dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa
konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
h. menyatakan
bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak
tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli olch
konsumen secara angsuran.
2. Pelaku
usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit
terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit
dimengerti.
3. Setiap
klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau
perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2
dinyatakan batal demi hukum.
4. Pelaku
usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan Undang-undang
ini.
11.7 Tanggung Jawab Pelaku Usaha
Pasal
19
1. Pelaku
usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran,
dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang
dihasilkan atau diperdagangkan.
2. Ganti
rugi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat berupa pengembalian uang atau
penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau
perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Pemberian
ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal
transaksi.
4. Pemberian
ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 tidak menghapuskan
kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai
adanya unsur kesalahan.
5. Ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 tidak berlaku apabila pelaku usaha
dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.
Pasal
20
Pelaku usaha
periklanan bertanggung jawab atas iklan yang diproduksi dan segala akibat yang
ditimbulkan oleh iklan tersebut.
Pasal
21
1. Importir
barang bertanggung jawab sebagai pembuat barang yang diimpor apabila importasi
barang tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan produsen luar negeri.
2. Importir
jasa bertanggung jawab sebagai penyedia jasa asing apabila penyediaan jasa
asing tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan penyedia jasa asing.
Pasal
22
Pembuktian terhadap
ada tidaknya unsur kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 19 ayat 4, Pasal 20, dan Pasal 21 merupakan beban dari tanggung jawab
pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian.
Pasal
23
Pelaku usaha yang
menolak dan/atau tidak memberi tanggapan dan/atau tidak memenuhi ganti rugi
atas tuntutan konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat 1, ayat 2, ayat
3, dan ayat 4, dapat digugat melalui badan penyelesaian sengketa konsumen atau
mengajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen.
Pasal
24
1. Pelaku
usaha yang menjual barang dan/atau jasa kepada pelaku usaha lain bertanggung
jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila:
a. pelaku
usaha lain menjual kepada konsumen tanpa melakukan perubahan apa pun atas
barang dan/atau jasa tersebut;
b. pelaku
usaha lain, di dalam transaksi jual beli tidak mengetahui adanya perubahan
barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh pelaku usaha atau tidak sesuai dengan
contoh, mutu, dan komposisi.
2. Pelaku
usaha sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dibebaskan dari tanggung jawab atas
tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha lain yang
membeli barang dan/atau jasa menjual kembali kepada konsumen dengan melakukan
perubahan atas barang dan/atau jasa tersebut.
Pasal
25
1. Pelaku
usaha yang memproduksi barang yang pemanfaatannya berkelanjutan dalam batas
waktu sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun wajib menyediakan suku cadang dan/atau
fasilitas purna jual dan wajib memenuhi jaminan atau garansi sesuai dengan yang
diperjanjikan.
2. Pelaku
usaha sebagaimana dimaksud pada ayat l bertanggung jawab atas tuntutan ganti
rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha tersebut:
a. tidak
menyediakan atau lalai menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas perbaikan;
b. tidak
memenuhi atau gagal memenuhi jaminan atau garansi yang diperjanjikan.
Pasal
26
Pelaku usaha yang
memperdagangkan jasa wajib memenuhi jaminan dan/atau garansi yang disepakati
dan/atau yang diperjanjikan.
Pasal
27
Pelaku usaha yang
memproduksi barang dibebaskan dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita
konsumen, apabila:
a. barang
tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksudkan unluk
diedarkan;
b. cacat
barang timbul pada kemudian hari;
c. cacat
timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang;
d. kelalaian
yang diakibatkan oleh konsumen;
e. lewatnya
jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang dibeli atau lewatnya
jangka waktu yang diperjanjikan.
Pasal
28
Pembuktian terhadap
ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23 merupakan beban dan tanggung jawab
pelaku usaha.
11.8
Sanksi
Bagian
Pertama
Sanksi
Administratif
Pasal
60
1. Badan
penyelesaian sengketa konsumen berwenang menjatuhkan sanksi administratif
terhadap pelaku usaha yang melanggar Pasal 19 ayat 2 dan ayat 3, Pasal 20,
Pasal 25, dan Pasal 26.
2. Sanksi
administratif berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua
ratus juta rupiah).
3. Tata
cara penetapan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diatur
lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan.
Bagian
Kedua
Sanksi
Pidana
Pasal
61
Penuntutan pidana
dapat dilakukan terhadap pelaku usaha dan/atau pengurusnya.
Pasal
62
1. Pelaku
Usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9,
Pasal 10, Pasal 13 ayat 2, Pasal 15, Pasal 1 ayat 1 huruf a, huruf b, huruf c,
huruf c, ayat 2, dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar
rupiah).
2. Pelaku
usaha yang, melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 12,
Pasal 13 ayat 1, Pasal 14, Pasal 16, dan Pasal 17 ayat 1 huruf d dan huruf f
dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda
paling banyak Rp 500.000.000.00 (lima ratus juta rupiah).
3. Terhadap
pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian
diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku.
Pasal
63
Terhadap sanksi
pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62, dapat dijatuhkan hukuman tambahan,
berupa:
a. perampasan
barang tertentu;
b. pengumuman
keputusan hakim;
c. pembayaran
ganti rugi;
d. perintah
penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen;
e. kewajiban
penarikan barang dari peredaran; atau
f. pencabutan
izin usaha.
LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN
USAHA TIDAK SEHAT
USAHA TIDAK SEHAT
12.1 Pengertian Persaingan usaha tidak sehat
Persaingan
usaha tidak sehat adalah persaingan antarpelaku usaha dalam menjalankan
kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan
cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.
12.2 Asas Dan Tujuan
Pasal
2
Pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan
kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan
keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum.
Pasal
3
Tujuan
pembentukan undang-undang ini adalah untuk:
a. menjaga
kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu
upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat;
b. mewujudkan
iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat
sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku
usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil;
c. mencegah
praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh
pelaku usaha; dan
d. terciptanya
efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.
12.3 Perjanjian
Yang Dilarang
Bagian
Pertama
Oligopoli
Pasal
4
(1)
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk secara
bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan atau
jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan
usaha tidak sehat.
(2)
Pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara bersama-sama melakukan
penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa, sebagaimana
dimaksud ayat (1), apabila 2 (dua) atau 3 (tiga) pelaku usaha atau kelompok
pelaku usaha menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa
pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
Bagian
Kedua
Penetapan
Harga
Pasal
5
(1)
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk
menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh
konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama.
(2)
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi:
a. suatu
perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha patungan; atau
b. suatu
perjanjian yang didasarkan undang-undang yang berlaku.
Pasal 6
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian yang
mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar dengan harga yang berbeda dari
harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan atau jasa yang
sama.
Pasal 7
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan
pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga di bawah harga pasar, yang dapat
mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
Pasal 8
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan
pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa
tidak akan menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya,
dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan sehingga
dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
Bagian Ketiga
Pembagian Wilayah
Pasal 9
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan
pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi
pasar terhadap barang dan atau jasa sehingga dapat mengakibatkan terjadinya
praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Bagian Keempat
Pemboikotan
Pasal 10
(1)
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang
dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk
tujuan pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri.
(2)
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya, untuk
menolak menjual setiap barang dan atau jasa dari pelaku usaha lain sehingga
perbuatan tersebut:
a. merugikan
atau dapat diduga akan merugikan pelaku usaha lain; atau
b. membatasi
pelaku usaha lain dalam menjual atau membeli setiap barang dan atau jasa dari
pasar bersangkutan.
Bagian
Kelima
Kartel
Pasal
11
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan
pelaku usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan
mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat.
Bagian Keenam
Trust
Pasal 12
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan
pelaku usaha lain untuk melakukan kerja sama dengan membentuk gabungan
perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan
kelangsungan hidup masing-masing perusahaan atau perseroan anggotanya, yang
bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau
jasa, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat.
Bagian Ketujuh
Oligopsoni
Pasal 13
(1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan
pelaku usaha lain yang bertujuan untuk secara bersama-sama menguasai pembelian
atau penerimaan pasokan agar dapat mengendalikan harga atas barang dan atau
jasa dalam pasar bersangkutan, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
(2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara
bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) apabila 2 (dua) atau 3 (tiga) pelaku usaha atau kelompok pelaku
usaha menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu
jenis barang atau jasa tertentu.
Bagian Kedelapan
Integrasi Vertikal
Pasal 14
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan
pelaku usaha lain yang bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang
termasuk dalam rangkaian produksi barang dan atau jasa tertentu yang mana
setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan, baik
dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung, yang dapat mengakibatkan
terjadinya persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat.
Bagian Kesembilan
Perjanjian Tertutup
Pasal
15
(1)
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat
persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok
atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu
dan atau pada tempat tertentu.
(2)
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain yang memuat
persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa tertentu harus
bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok.
(3)
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian mengenai harga atau potongan harga
tertentu atas barang dan atau jasa, yang memuat persyaratan bahwa pelaku usaha
yang menerima barang dan atau jasa dari pelaku usaha pemasok:
harus
bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok; atau
tidak
akan membeli barang dan atau jasa yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain
yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok.
Bagian Kesepuluh
Perjanjian Dengan Pihak
Luar Negeri
Pasal 16
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan
pihak lain di luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan
terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
13.1 Hal-Hal
Yang Dikecualikan Dalam UU Anti Monopoli
Di
dalam Undang-Undang Anti Monopoli Nomor 5 Tahun 1999,terdapat hal-hal yang dikecualikan,yaitu
:
Pasal
50
a.
perbuatan dan atau perjanjian yang bertujuan melaksanakan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
b.
perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual seperti lisensi,
paten, merek dagang, hak cipta, desain produk industri, rangkaian elektronik
terpadu, dan rahasia dagang, serta perjanjian yang berkaitan dengan waralaba;
c.
perjanjian penetapan standar teknis produk barang dan atau jasa yang tidak
mengekang dan atau menghalangi persaingan;
d.
perjanjian dalam rangka keagenan yang isinya tidak memuat ketentuan untuk
memasok kembali barang dan atau jasa dengan harga yang lebih rendah daripada
harga yang telah diperjanjikan;
e.
perjanjian kerja sama penelitian untuk peningkatan atau perbaikan standar hidup
masyarakat luas;
f.
perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik
Indonesia;
g.
perjanjian dan atau perbuatan yang bertujuan untuk ekspor yang tidak mengganggu
kebutuhan dan atau pasokan pasar dalam negeri;
h.
pelaku usaha yang tergolong dalam usaha kecil;
i.
kegiatan usaha koperasi yang secara khusus bertujuan untuk melayani anggotanya.
Pasal
51
Monopoli
dan atau pemusatan kegiatan yang berkaitan dengan produksi dan atau pemasaran
barang dan atau jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak serta
cabang-cabang produksi yang penting bagi negara diatur dengan undang-undang dan
diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara dan atau badan atau lembaga yang
dibentuk atau ditunjuk oleh Pemerintah.
13.2 Komisi
Pengawas Persaingan Usaha
Pasal 30
Pasal 30
(1)Untuk
mengawasi pelaksanaan Undang-undang ini dibentuk Komisi Pengawas Persaingan
Usaha yang selanjutnya disebut Komisi.
(2)Komisi
adalah suatu lembaga independen yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan Pemerintah
serta pihak lain.
(3)Komisi
bertanggung jawab kepada Presiden.
Bagian Ketiga
Tugas
Pasal 35
Pasal 35
Tugas
Komisi meliputi:
a.melakukan
penilaian terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 4
sampai dengan Pasal 16;
b.melakukan
penilaian terhadap kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat
sebagaimana diatur dalam Pasal 17 sampai dengan Pasal 24;
c.melakukan
penilaian terhadap ada atau tidak adanya penyalahgunaan posisi dominan yang
dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 25 sampai dengan Pasal 28;
d.mengambil
tindakan sesuai dengan wewenang Komisi sebagaimana diatur dalam Pasal 36;
e.memberikan
saran dan pertimbangan terhadap kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan
praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
f.menyusun
pedoman dan atau publikasi yang berkaitan dengan Undang-undang ini;
g.memberikan
laporan secara berkala atas hasil kerja Komisi kepada Presiden dan Dewan
Perwakilan Rakyat.
Bagian Keempat
Wewenang
Pasal 36
Pasal 36
Wewenang
Komisi meliputi:
menerima
laporan dari masyarakat dan atau dari pelaku usaha tentang dugaan terjadinya
praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
melakukan
penelitian tentang dugaan adanya kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha
yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha
tidak sehat;
melakukan penyelidikan dan
atau pemeriksaan terhadap kasus dugaan praktek monopoli dan atau persaingan
usaha tidak sehat yang dilaporkan oleh masyarakat atau oleh pelaku usaha atau
menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana
dimaksud huruf e dan huruf f, yang tidak bersedia memenuhi panggilan Komisi;
meminta
keterangan dari instansi Pemerintah dalam kaitannya
dengan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap pelaku usaha
yang melanggar ketentuan undang-undang ini;
mendapatkan,
meneliti, dan atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain
guna penyelidikan dan atau pemeriksaan;
memutuskan
dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak pelaku usaha lain atau
masyarakat;
memberitahukan
putusan Komisi kepada pelaku usaha yang diduga melakukan praktek monopoli dan
atau persaingan usaha tidak sehat;
menjatuhkan
sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku usaha yang melanggar
ketentuan Undang-undang ini.
13.3
Sanksi
Bagian Pertama
Tindakan Administratif
Pasal 47
(1)Komisi
berwenang menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif terhadap pelaku
usaha yang melanggar ketentuan Undang-undang ini.
(2)Tindakan
administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa:
a.penetapan
pembatalan perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal
13, Pasal 15, dan Pasal 16; dan atau
b.perintah
kepada pelaku usaha untuk menghentikan integrasi vertikal sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14; dan atau
c.perintah
kepada pelaku usaha untuk menghentikan kegiatan yang terbukti menimbulkan
praktek monopoli dan atau menyebabkan persaingan usaha tidak sehat dan atau
merugikan masyarakat; dan atau
d.perintah
kepada pelaku usaha untuk menghentikan penyalahgunaan posisi dominan; dan atau
e.penetapan
pembatalan atas penggabungan atau peleburan badan usaha dan pengambilalihan
saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28; dan atau
f.penetapan
pembayaran ganti rugi; dan atau
g.pengenaan
denda serendah-rendahnya Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan
setinggi-tingginya Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah).
Bagian Kedua
Pidana Pokok
Pasal 48
(1)Pelanggaran
terhadap ketentuan Pasal 4, Pasal 9 sampai dengan Pasal 14, Pasal 16 sampai
dengan Pasal 19, Pasal 25, Pasal 27, dan Pasal 28 diancam pidana denda
serendah-rendahnya Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) dan
setinggi-tingginya Rp 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah), atau pidana
kurungan pengganti denda selama-lamanya 6 (enam) bulan.
(2)Pelanggaran
terhadap ketentuan Pasal 5 sampai dengan Pasal 8, Pasal 15, Pasal 20 sampai
dengan Pasal 24, dan Pasal 26 Undang-undang ini diancam pidana denda
serendah-rendahnya Rp 5.000.000.000,00 ( lima miliar rupiah) dan
setinggi-tingginya Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah), atau
pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 5 (lima) bulan.
(3)Pelanggaran
terhadap ketentuan Pasal 41 Undang-undang ini diancam pidana denda
serendah-rendahnya Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan
setinggi-tingginya Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah), atau pidana
kurungan pengganti denda selama-lamanya 3 (tiga) bulan.
Bagian Ketiga
Pidana Tambahan
Pasal 49
Dengan
menunjuk ketentuan Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, terhadap pidana
sebagaimana diatur dalam Pasal 48 dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa:
a.pencabutan izin usaha; atau
a.pencabutan izin usaha; atau
b.larangan
kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap
undang-undang ini untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris
sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan selama-lamanya 5 (lima) tahun; atau
c.penghentian
kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian pada pihak
lain.
Pengertian & Cara penyelesaian
sengketa
14.1 Pengertian Sengketa
Pengertian sengketa dalam kamus Bahasa Indonesia, berarti pertentangan atau konflik, Konflik berarti adanya oposisi atau pertentangan antara orang-orang, kelompok-kelompok, atau organisasi-organisasi terhadap satu objek permasalahan. Senada dengan itu Winardi mengemukakan :
Pertentangan atau konflik yang terjadi antara individu-individu atau kelompok-kelompok yang mempunyai hubungan atau kepentingan yang sama atas suatu objek kepemilikan, yang menimbulkan akibat hukum antara satu dengan yang lain.
Sedangkan menurut Ali Achmad berpendapat :
Sengketa adalah pertentangan antara dua pihak atau lebih yang berawal dari persepsi yang berbeda tentang suatu kepentingan atau hak milik yang dapat menimbulkan akibat hukum bagi keduanya.
Dari kedua pendapat diatas maka dapat dikatakan bahwa sengketa adalah prilaku pertentangan antara dua orang atau lebih yang dapat menimbulkan suatu akibat hukum dan karenanya dapat diberi sangsi hukum bagi salah satu diantara keduanya.
14.2 Cara – cara Penyelesaian Sengketa
Penyelesaian sengketa secara damai bertujuan untuk mencegah dan mengindarkan kekerasan atau peperangan dalam suatu persengketaan antar negara. Menurut pasal 33 ayat 1 (Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan) Piagam PBB penyelesaian sengketa dapat ditempuh melalui cara-cara sebagai berikut:
1. Negosiasi (perundingan)
Perundingan merupakan pertukaran pandangan dan usul-usul antara dua pihak untuk menyelesaikan suatu persengketaan, jadi tidak melibatkan pihak ketiga.
2. Enquiry (penyelidikan)
Penyelidikan dilakukan oleh pihak ketiga yang tidak memihak dimaksud untuk mencari fakta.
3. Good offices (jasa-jasa baik)
Pihak ketiga dapat menawarkan jasa-jasa baik jika pihak yang bersengketa tidak dapat menyelesaikan secara langsung persengketaan yang terjadi diantara mereka.
Penyelesaian perkara perdata melalui sistem peradilan:
1. Memberi kesempatan yang tidak adil (unfair), karena lebih memberi kesempatan kepada lembaga-lembaga besar atau orang kaya.
2. Sebaliknya secara tidak wajar menghalangi rakyat biasa (ordinary citizens) untuk perkara di pengadilan.
Tujuan memperkarakan suatu sengketa:
1. adalah untuk menyelesaikan masalah yang konkret dan memuaskan,
2. dan pemecahannya harus cepat (quickly), wajar (fairly) dan murah (inexpensive)
Selain dari pada itu berperkara melalui pengadilan:
1. lama dan sangat formalistik (waste of time and formalistic),
2. biaya tinggi (very expensive),
3. secara umum tidak tanggap (generally unresponsive),
4. kurang memberi kesempatan yang wajar (unfair advantage) bagi yang rakyat biasa.
14.1 Pengertian Sengketa
Pengertian sengketa dalam kamus Bahasa Indonesia, berarti pertentangan atau konflik, Konflik berarti adanya oposisi atau pertentangan antara orang-orang, kelompok-kelompok, atau organisasi-organisasi terhadap satu objek permasalahan. Senada dengan itu Winardi mengemukakan :
Pertentangan atau konflik yang terjadi antara individu-individu atau kelompok-kelompok yang mempunyai hubungan atau kepentingan yang sama atas suatu objek kepemilikan, yang menimbulkan akibat hukum antara satu dengan yang lain.
Sedangkan menurut Ali Achmad berpendapat :
Sengketa adalah pertentangan antara dua pihak atau lebih yang berawal dari persepsi yang berbeda tentang suatu kepentingan atau hak milik yang dapat menimbulkan akibat hukum bagi keduanya.
Dari kedua pendapat diatas maka dapat dikatakan bahwa sengketa adalah prilaku pertentangan antara dua orang atau lebih yang dapat menimbulkan suatu akibat hukum dan karenanya dapat diberi sangsi hukum bagi salah satu diantara keduanya.
14.2 Cara – cara Penyelesaian Sengketa
Penyelesaian sengketa secara damai bertujuan untuk mencegah dan mengindarkan kekerasan atau peperangan dalam suatu persengketaan antar negara. Menurut pasal 33 ayat 1 (Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan) Piagam PBB penyelesaian sengketa dapat ditempuh melalui cara-cara sebagai berikut:
1. Negosiasi (perundingan)
Perundingan merupakan pertukaran pandangan dan usul-usul antara dua pihak untuk menyelesaikan suatu persengketaan, jadi tidak melibatkan pihak ketiga.
2. Enquiry (penyelidikan)
Penyelidikan dilakukan oleh pihak ketiga yang tidak memihak dimaksud untuk mencari fakta.
3. Good offices (jasa-jasa baik)
Pihak ketiga dapat menawarkan jasa-jasa baik jika pihak yang bersengketa tidak dapat menyelesaikan secara langsung persengketaan yang terjadi diantara mereka.
Penyelesaian perkara perdata melalui sistem peradilan:
1. Memberi kesempatan yang tidak adil (unfair), karena lebih memberi kesempatan kepada lembaga-lembaga besar atau orang kaya.
2. Sebaliknya secara tidak wajar menghalangi rakyat biasa (ordinary citizens) untuk perkara di pengadilan.
Tujuan memperkarakan suatu sengketa:
1. adalah untuk menyelesaikan masalah yang konkret dan memuaskan,
2. dan pemecahannya harus cepat (quickly), wajar (fairly) dan murah (inexpensive)
Selain dari pada itu berperkara melalui pengadilan:
1. lama dan sangat formalistik (waste of time and formalistic),
2. biaya tinggi (very expensive),
3. secara umum tidak tanggap (generally unresponsive),
4. kurang memberi kesempatan yang wajar (unfair advantage) bagi yang rakyat biasa.
14.3 Negosiasi
Menurut Fisher R dan William Ury; Negoisasi adalah komunikasi
dua arah dirancang untuk mencapai kesepakatan pada saat keduabelah pihak
memiliki berbagai kepentingan yang sama atau berbeda.
Keuntungan Negosiasi :
a. Mengetahui pandanga pihak lawan;
b. Kesempatan mengutarakan isi hati untuk didengar piha lawan;
c. Memungkinkan sengketa secara bersama-sama;
d. Mengupayakan solusi terbaik yang dapat diterima oleh keduabelah pihak;
e. Tidak terikat kepada kebenaran fakta atau masalah hukum;
f. Dapat diadakan dan diakhiri sewaktu-waktu.
Kelemahan Negosiasi :
a. Tidak dapat berjalan tanpa adanya kesepakatan dari keduabelah pihak;
b. Tidak efektif jika dilakukan oleh pihak yang tidak berwenang mengambil
kesepakatan;
c. Sulit berjalan apabila posisi para pihak tidak seimbang;
d. Memungkinkan diadakan untuk menunda penyelesaian untuk mengetahui informasi yang dirahasiakan lawan;
e. Dapat membuka kekuatan dan kelemahan salahsatu pihak;
f. Dapat membuat kesepakan yang kurang menguntungkan.
Prasyarat Negosiasi yang efektif
a. Kemauan (Willingness) untuk menyelesaikan masalah dan bernegoisasi secara sukarela;
b. Kesiapan (Preparedness) melakukan negoisasi;
c. Kewenangan (authoritative) mengambil keputusan;
d. Keseimbangan kekuatan (equal bergaining power) ada sebagai saling ketergantungan;
e. Keterlibatan seluruh pihak (steaholdereship) dukungan seluruh pihak terkait;
f. Holistic (compehenship) pembahasan secara menyeluruh;
g. Masih ada komunikasi antara para pihak;
h. Masih ada rasa percaya dari para pihak
i. Sengketa tidak terlalu pelik
j. Tanpa prasangka dan segala komunikasiatau diskusi yang terjadi tidak dapat digunakan sebagai alat bukti
Tahapan Negosiasi menurut William Ury dibagi menjadi empat tahap yaitu :
Tahapan Persiapan :
1) Persiapan sebagai kunci keberhasialan;
2) Mengenal lawan, pelajari sebanyak mungkin pihak lawan dan lakukan penelitian;
3) Usahakan berfikir dengan cara berfikir lawan dan seolah-olah kepentingan lawan sama dengan kepentingan anda;
4) Sebaiknya persiapkan pertanyaan-pertanyaan sebelum pertemuan dan ajukan dalam bahasa yang jelas dan jangan sekali-kali memojokkan atau menyerang pihak lawan;
5) Memahami kepentingan kita dan kepentingan lawan;
6) Identifikasi masalahnya, apakah masalah tersebut menjadi masalah bersama?
7) Menyiapkan agenda, logistik, ruangan dan konsumsi;
8) Menyiapkan tim dan strategi;
9) Menentukan BTNA (Best Alternative to A Negitieted Agreement) alternative lain atau harga dasar (Bottom Line)
b. Tahap Orientasi dan Mengatur Posisi :
1) Bertukar Informasi;
2) Saling menjelaskan permasalahan dan kebutuhan;
3) Mengajuakan tawaran awal.
c. Tahap Pemberian Konsensi/ Tawar Menawar
1) Para pihak saling menyampaikan tawaranya, menjelaskan alasanya dan membujuk pihak lain untuk menerimanya;
2) Dapat menawarkan konsensi, tapi pastikan kita memperoleh sesuatu sebagai imbalanya;
3) Mencoba memahai pemikiran pihak lawan;
4) Mengidentifikasi kebutuhan bersama;
5) Mengembangkan dan mendiskusiakan opsi-opsi penyelesaian.
d. Tahapan Penutup
1) Mengevaluasi opsi-opsi berdasarkan kriteria obyektif
2) Kesepakatan hanya menguntungkan bila tidak ada lagi opsi lain yang lebih baik, bila tidak berhasil mencapai kesepakatan, membatalkan komitmen atau menyatakan tidak ada komitmen
Keuntungan Negosiasi :
a. Mengetahui pandanga pihak lawan;
b. Kesempatan mengutarakan isi hati untuk didengar piha lawan;
c. Memungkinkan sengketa secara bersama-sama;
d. Mengupayakan solusi terbaik yang dapat diterima oleh keduabelah pihak;
e. Tidak terikat kepada kebenaran fakta atau masalah hukum;
f. Dapat diadakan dan diakhiri sewaktu-waktu.
Kelemahan Negosiasi :
a. Tidak dapat berjalan tanpa adanya kesepakatan dari keduabelah pihak;
b. Tidak efektif jika dilakukan oleh pihak yang tidak berwenang mengambil
kesepakatan;
c. Sulit berjalan apabila posisi para pihak tidak seimbang;
d. Memungkinkan diadakan untuk menunda penyelesaian untuk mengetahui informasi yang dirahasiakan lawan;
e. Dapat membuka kekuatan dan kelemahan salahsatu pihak;
f. Dapat membuat kesepakan yang kurang menguntungkan.
Prasyarat Negosiasi yang efektif
a. Kemauan (Willingness) untuk menyelesaikan masalah dan bernegoisasi secara sukarela;
b. Kesiapan (Preparedness) melakukan negoisasi;
c. Kewenangan (authoritative) mengambil keputusan;
d. Keseimbangan kekuatan (equal bergaining power) ada sebagai saling ketergantungan;
e. Keterlibatan seluruh pihak (steaholdereship) dukungan seluruh pihak terkait;
f. Holistic (compehenship) pembahasan secara menyeluruh;
g. Masih ada komunikasi antara para pihak;
h. Masih ada rasa percaya dari para pihak
i. Sengketa tidak terlalu pelik
j. Tanpa prasangka dan segala komunikasiatau diskusi yang terjadi tidak dapat digunakan sebagai alat bukti
Tahapan Negosiasi menurut William Ury dibagi menjadi empat tahap yaitu :
Tahapan Persiapan :
1) Persiapan sebagai kunci keberhasialan;
2) Mengenal lawan, pelajari sebanyak mungkin pihak lawan dan lakukan penelitian;
3) Usahakan berfikir dengan cara berfikir lawan dan seolah-olah kepentingan lawan sama dengan kepentingan anda;
4) Sebaiknya persiapkan pertanyaan-pertanyaan sebelum pertemuan dan ajukan dalam bahasa yang jelas dan jangan sekali-kali memojokkan atau menyerang pihak lawan;
5) Memahami kepentingan kita dan kepentingan lawan;
6) Identifikasi masalahnya, apakah masalah tersebut menjadi masalah bersama?
7) Menyiapkan agenda, logistik, ruangan dan konsumsi;
8) Menyiapkan tim dan strategi;
9) Menentukan BTNA (Best Alternative to A Negitieted Agreement) alternative lain atau harga dasar (Bottom Line)
b. Tahap Orientasi dan Mengatur Posisi :
1) Bertukar Informasi;
2) Saling menjelaskan permasalahan dan kebutuhan;
3) Mengajuakan tawaran awal.
c. Tahap Pemberian Konsensi/ Tawar Menawar
1) Para pihak saling menyampaikan tawaranya, menjelaskan alasanya dan membujuk pihak lain untuk menerimanya;
2) Dapat menawarkan konsensi, tapi pastikan kita memperoleh sesuatu sebagai imbalanya;
3) Mencoba memahai pemikiran pihak lawan;
4) Mengidentifikasi kebutuhan bersama;
5) Mengembangkan dan mendiskusiakan opsi-opsi penyelesaian.
d. Tahapan Penutup
1) Mengevaluasi opsi-opsi berdasarkan kriteria obyektif
2) Kesepakatan hanya menguntungkan bila tidak ada lagi opsi lain yang lebih baik, bila tidak berhasil mencapai kesepakatan, membatalkan komitmen atau menyatakan tidak ada komitmen
14.4
Mediasi
Mediasi adalah cara penyelesaian dengan melibatkan pihak
ketiga, yaitu pihak ketiga yang dapat diterima (accertable) Artinya para pihak
yang bersengketa mengizinkan pihak ketiga untuk membantu para rihak yang
bersengketa dan membantu para pihak untuk mencapai penyenyelesaian. Meskipun
demikianak septabilitas tidak berarti- para pihak selalu berkehendak untuk
melakukan atau menerima sepenuhnya apa yang dikemukakan pihak ketiga. Mediasi
menurut P.1.6 PerMa No.2 Tahun 2003 : Yaitu suatu penyelesaian sengketa melalui
proses perundingan para pihak dibantu oleh mediator.
Karakteristik Mediasi :
a. Intervesi mediator dapat diterima kedua belah pihak;
b. Mediator tidak berwenang membuat keputusan, hanya mendengarkan membujuk dan memberikan inspirasi kepada para pihak.
Mediasi Menurut Hukum Positif : Peraturan Mahkamah Agung RI. No.2 Tahun 2003 Tentang Prosedur Mediasi di pengadilan, konsideranya adalah; untuk mengurangi penumpukan perkara, merupakan salah satu cara menyelesaikan perkara lebih cepat dan murah, bersesuian dengan Pasal 130 HIR atau pasal P 153 RBg.
Sifat Mediasi :
a. Wajib (Mandatory) P.2 (1) atas seluruh perkara perdata yang diajukan kepengadilan Tk.1
b. Hakim mewajibkan para pihak menempuh lebih dahulu proses mediasi;
c. Hakim wajib memunda siadang dan memberikan kesempatan para pihak untuk mediasi;
d. Hakim wajib memberikan penjelasan ttg prosedur mediasi dan biayanya;
e. Apabila para pihak diwakili Penasehat Hukum maka setriap keputusan yang diambil harus memperoleh persetujuan tertulis dari para pihak;
f. Proses mediasi pada dasarnya tidak bersifat terbuka untu umum, kecuali para pihak menghendaki lain, sedangkan mediasi untuk kepentingan publik terbuka untuk umum.
Hak memilih mediator oleh para pihak :
a. Mediator ditunjuk (disepakati) oleh para pihak, dapat dari dalam peradilan (hakim) yang sudah mendapat sertifikat sebagai mediator, atau pihak dari luar pengadilan yang sudah bersetrifikat;
b. Jika para pihak dapat sepakat dalam memilih mediator maka ketua majelis hakim dapat menetapkan menunjuk mediator yang terdaftar dalam PN tersebut;
c. Waktu paling lama satu hari kerja setelah sidang pertama;
d. Ketua atau anggota majelis hakim di larang sebagai mediator
Kewajiban Mediator :
a. Mediator wajib menyusin jadwal mediasi;
b. Mediator wajib mendorong dan menelurusi serta mengali kepentingan para pihak;
c. Mediator wajib mencari berbagi pilihan penyelesain;
d. Mediator wajib merumuskan kesepakatan secara tertulis;
e. Mediator wajib memuat klausa pencabutan perkara;
f. Mediator wajib memeriksa kesepakan untuk menghindari jika ada klausa yang bertentangam dengan hukum;
g. Setelah 22 hari melalui mediasi tidak berhasil, maka mediator wajib menyatakan secara tertulis bagwa mediasi telah gagal dan memberikan pemberitahuan kepada majelis hakim;
h. Jika mediasi gagal, maka semua fotokopi, notulen, catatan mediator wajib dimusnahkan
Waktu dan Tempat Mediasi :
a. Paling lama 30 hari, bagi mediator di luar PN dapat di perpanjang;
b. 22 hari setelah ditunjuknya mediator;
c. 7 hari setelah mediator ditunjuk para pihak wajib menyerahkan fotokopi dokumen perkara (duduk perkara, susrt-surat, dll );
d. Mediasi dapat diselengarakan disalah satu ruangan pengadialan atau tempat lain yang disepakati para pihak
Hal-hal lain yang perlu di perhatikan :
a. Para pihak dapat di dampingi oleh penasehat hukum;
b. Para pihak wajib menhadap kembali kepada majelis haim yang memeriksa perkara;
c. Kesepakatan hasil mediasi di tandatangani oleh para pihak dan dapat dikukuhkan majelis hakim sebagai akta perdamaian;
d. Mediator dapat melakukan kaukus;
e. Mediator dengan kesepakatan para pihak dapat mengundang ahli;
f. Jika mediasi gagal, maka pernyataan dan pengakuan para pihak tidak dapat digunakan sebagai alat bukti persidangan;
g. Mediator tidak dapat dijadikan saksi di pengadilan;
h. Mediasi di pengadilan tidak di pungut biaya, sedangkan di tempat lain biaya di bebenkan kepada para pihak;
i. Mediasi oleh hakim tidak dipungut biaya, sedangkan mediator bukan hakim ditangung oleh para pihak atas kesepakatan.
Karakteristik Mediasi :
a. Intervesi mediator dapat diterima kedua belah pihak;
b. Mediator tidak berwenang membuat keputusan, hanya mendengarkan membujuk dan memberikan inspirasi kepada para pihak.
Mediasi Menurut Hukum Positif : Peraturan Mahkamah Agung RI. No.2 Tahun 2003 Tentang Prosedur Mediasi di pengadilan, konsideranya adalah; untuk mengurangi penumpukan perkara, merupakan salah satu cara menyelesaikan perkara lebih cepat dan murah, bersesuian dengan Pasal 130 HIR atau pasal P 153 RBg.
Sifat Mediasi :
a. Wajib (Mandatory) P.2 (1) atas seluruh perkara perdata yang diajukan kepengadilan Tk.1
b. Hakim mewajibkan para pihak menempuh lebih dahulu proses mediasi;
c. Hakim wajib memunda siadang dan memberikan kesempatan para pihak untuk mediasi;
d. Hakim wajib memberikan penjelasan ttg prosedur mediasi dan biayanya;
e. Apabila para pihak diwakili Penasehat Hukum maka setriap keputusan yang diambil harus memperoleh persetujuan tertulis dari para pihak;
f. Proses mediasi pada dasarnya tidak bersifat terbuka untu umum, kecuali para pihak menghendaki lain, sedangkan mediasi untuk kepentingan publik terbuka untuk umum.
Hak memilih mediator oleh para pihak :
a. Mediator ditunjuk (disepakati) oleh para pihak, dapat dari dalam peradilan (hakim) yang sudah mendapat sertifikat sebagai mediator, atau pihak dari luar pengadilan yang sudah bersetrifikat;
b. Jika para pihak dapat sepakat dalam memilih mediator maka ketua majelis hakim dapat menetapkan menunjuk mediator yang terdaftar dalam PN tersebut;
c. Waktu paling lama satu hari kerja setelah sidang pertama;
d. Ketua atau anggota majelis hakim di larang sebagai mediator
Kewajiban Mediator :
a. Mediator wajib menyusin jadwal mediasi;
b. Mediator wajib mendorong dan menelurusi serta mengali kepentingan para pihak;
c. Mediator wajib mencari berbagi pilihan penyelesain;
d. Mediator wajib merumuskan kesepakatan secara tertulis;
e. Mediator wajib memuat klausa pencabutan perkara;
f. Mediator wajib memeriksa kesepakan untuk menghindari jika ada klausa yang bertentangam dengan hukum;
g. Setelah 22 hari melalui mediasi tidak berhasil, maka mediator wajib menyatakan secara tertulis bagwa mediasi telah gagal dan memberikan pemberitahuan kepada majelis hakim;
h. Jika mediasi gagal, maka semua fotokopi, notulen, catatan mediator wajib dimusnahkan
Waktu dan Tempat Mediasi :
a. Paling lama 30 hari, bagi mediator di luar PN dapat di perpanjang;
b. 22 hari setelah ditunjuknya mediator;
c. 7 hari setelah mediator ditunjuk para pihak wajib menyerahkan fotokopi dokumen perkara (duduk perkara, susrt-surat, dll );
d. Mediasi dapat diselengarakan disalah satu ruangan pengadialan atau tempat lain yang disepakati para pihak
Hal-hal lain yang perlu di perhatikan :
a. Para pihak dapat di dampingi oleh penasehat hukum;
b. Para pihak wajib menhadap kembali kepada majelis haim yang memeriksa perkara;
c. Kesepakatan hasil mediasi di tandatangani oleh para pihak dan dapat dikukuhkan majelis hakim sebagai akta perdamaian;
d. Mediator dapat melakukan kaukus;
e. Mediator dengan kesepakatan para pihak dapat mengundang ahli;
f. Jika mediasi gagal, maka pernyataan dan pengakuan para pihak tidak dapat digunakan sebagai alat bukti persidangan;
g. Mediator tidak dapat dijadikan saksi di pengadilan;
h. Mediasi di pengadilan tidak di pungut biaya, sedangkan di tempat lain biaya di bebenkan kepada para pihak;
i. Mediasi oleh hakim tidak dipungut biaya, sedangkan mediator bukan hakim ditangung oleh para pihak atas kesepakatan.
14.5 Arbitrase
Arbitrase
adalah cara penyelesaian sengketa yang mirip dengan litigasi, hanya saja
litigasi ini bisa dikatakan sebagai "litigasi swasta" Dimana yang
memeriksa perkara tersebut bukanlah hakim tetapi seorang arbiter. Untuk dapat
menempuh prosesi arbitrase hal pokok yang harus ada adalah "klausula
arbitrase" di dalam perjanjian yang dibuat sebelum timbul sengketa akibat
perjanjian tersebut, atau "Perjanjian Arbitrase" dalam hal sengketa
tersebut sudah timbul namun tidak ada klausula arbitrase dalam perjanjian sebelumnya.
Klausula arbitrase atau perjanjian arbitrase tersebut berisi bahwa para pihak
akan menyelesaikan sengketa melalui arbitrase sehingga menggugurkan kewajiban
pengadilan untuk memeriksa perkara tersebut. Jika perkara tersebut tetap
diajukan ke Pengadilan maka pengadilan wajib menolak karena perkara tersebut
sudah berada di luar kompetensi pengadilan tersebut akibat adanya klausula
arbitrase atau perjanjian arbitrase.
14.6 Perbandingan
antara Perundingan, Arbitrase dan Ligitasi
A.
PERUNDINGAN
Negosiasi
adalah cara penyelesaian sengketa dimana para pihak yang bersengketa saling
melakukan kompromi untuk menyuarakan kepentingannya. Dengan cara kompromi
tersebut diharapkan akan tercipta win-win solution dan akan mengakhiri sengketa
tersebut secara baik.
B. ARBITRASE
B. ARBITRASE
Arbitrase
adalah cara penyelesaian sengketa yang mirip dengan litigasi, hanya saja
litigasi ini bisa dikatakan sebagai "litigasi swasta" Dimana yang
memeriksa perkara tersebut bukanlah hakim tetapi seorang arbiter. Untuk dapat
menempuh prosesi arbitrase hal pokok yang harus ada adalah "klausula
arbitrase" di dalam perjanjian yang dibuat sebelum timbul sengketa akibat
perjanjian tersebut, atau "Perjanjian Arbitrase" dalam hal sengketa
tersebut sudah timbul namun tidak ada klausula arbitrase dalam perjanjian
sebelumnya. Klausula arbitrase atau perjanjian arbitrase tersebut berisi bahwa
para pihak akan menyelesaikan sengketa melalui arbitrase sehingga menggugurkan
kewajiban pengadilan untuk memeriksa perkara tersebut. Jika perkara tersebut tetap
diajukan ke Pengadilan maka pengadilan wajib menolak karena perkara tersebut
sudah berada di luar kompetensi pengadilan tersebut akibat adanya klausula
arbitrase atau perjanjian arbitrase. Beberapa keunggulan arbitrase dibandingkan
litigasi antara lain:
1. Arbitrase relatif lebih terpercaya karena Arbiter dipilih oleh para pihak yang bersengketa. Arbiter dipilih oleh para pihak sendiri dan merupakan jabatan yang tidak boleh dirangkap oleh pejabat peradilan manapun. Dalam hal para pihak tidak bersepakat dalam menentukan arbiter maka arbiter akan ditunjuk oleh ketua Pengadilan Negeri. Hal ini berbeda dengan litigasi karena para pihak tidak dapat memilih hakim yang memeriksa perkara. Calon arbiter yang ditunjuk juga boleh menolak penunjukan tersebut.
2. Arbiter merupakan orang yang ahli di bidangnya sehingga putusan yang dihasilkan akan lebih cermat. Dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dinyatakan bahwa salah satu syarat untuk menjadi arbiter adalah berpengalaman aktif di bidangnya selama 15 tahun. Hal ini tentunya berbeda dengan hakim yang mungkin saja tidak menguasai bidang yang disengketakan sehingga harus belajar bidang tersebut sebelum memeriksa perkara.
3. Kepastian Hukum lebih terjamin karena putusan arbitrase bersifat final dan mengikat para pihak. Pihak yang tidak puas dengan putusan arbitrase tidak dapat mengajukan upaya hukum. namun putusan tersebut dapat dibatalkan jika terjadi hal-hal tertentu seperti dinyatakan palsunya bukti-bukti yang dipakai dalam pemeriksaan setelah putusan tersebut dijatuhkan atau putusan tersebut dibuat dengan itikad tidak baik dari arbiter.
Sedangkan kelemahannya antara lain:
1. Biaya yang relatif mahal karena honorarium arbiter juga harus ditanggung para pihak (atau pihak yang kalah)
2. Putusan Arbitrase tidak mempunyai kekuatan eksekutorial sebelum didaftarkan ke Pengadilan Negeri.
3. Ruang lingkup arbitrase yang terbatas hanya pada sengketa bidang komersial (perdagangan, ekspor-impor, pasar modal, dan sebagainya).
C. LIGITASI
1. Arbitrase relatif lebih terpercaya karena Arbiter dipilih oleh para pihak yang bersengketa. Arbiter dipilih oleh para pihak sendiri dan merupakan jabatan yang tidak boleh dirangkap oleh pejabat peradilan manapun. Dalam hal para pihak tidak bersepakat dalam menentukan arbiter maka arbiter akan ditunjuk oleh ketua Pengadilan Negeri. Hal ini berbeda dengan litigasi karena para pihak tidak dapat memilih hakim yang memeriksa perkara. Calon arbiter yang ditunjuk juga boleh menolak penunjukan tersebut.
2. Arbiter merupakan orang yang ahli di bidangnya sehingga putusan yang dihasilkan akan lebih cermat. Dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dinyatakan bahwa salah satu syarat untuk menjadi arbiter adalah berpengalaman aktif di bidangnya selama 15 tahun. Hal ini tentunya berbeda dengan hakim yang mungkin saja tidak menguasai bidang yang disengketakan sehingga harus belajar bidang tersebut sebelum memeriksa perkara.
3. Kepastian Hukum lebih terjamin karena putusan arbitrase bersifat final dan mengikat para pihak. Pihak yang tidak puas dengan putusan arbitrase tidak dapat mengajukan upaya hukum. namun putusan tersebut dapat dibatalkan jika terjadi hal-hal tertentu seperti dinyatakan palsunya bukti-bukti yang dipakai dalam pemeriksaan setelah putusan tersebut dijatuhkan atau putusan tersebut dibuat dengan itikad tidak baik dari arbiter.
Sedangkan kelemahannya antara lain:
1. Biaya yang relatif mahal karena honorarium arbiter juga harus ditanggung para pihak (atau pihak yang kalah)
2. Putusan Arbitrase tidak mempunyai kekuatan eksekutorial sebelum didaftarkan ke Pengadilan Negeri.
3. Ruang lingkup arbitrase yang terbatas hanya pada sengketa bidang komersial (perdagangan, ekspor-impor, pasar modal, dan sebagainya).
C. LIGITASI
Litigasi
adalah sistem penyelesaian sengketa melalui lembaga peradilan. Sengketa yang
terjadi dan diperiksa melalui jalur litigasi akan diperiksa dan diputus oleh
hakim. Melalui sistem ini tidak mungkin akan dicapai sebuah win-win solution (solusi
yang memperhatikan kedua belah pihak) karena hakim harus menjatuhkan putusan
dimana salah satu pihak akan menjadi pihak yang menang dan pihak lain menjadi
pihak yang kalah. Kebaikan dari sistem ini adalah:
1. Ruang lingkup pemeriksaannya yang lebih luas (karena sistem peradilan di Indonesia terbagi menjadi beberapa bagian yaitu peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan Tata Usaha Negara sehingga hampir semua jenis sengketa dapat diperiksa melalui jalur ini)
2. Biaya yang relatif lebih murah (Salah satu azas peradilan Indonesia adalah Sederhana, Cepat dan Murah)
Sedangkan kelemahan dari sistem ini adalah:
1. Kurangnya kepastian hukum (karena terdapat hierarki pengadilan di Indonesia yaitu Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung dimana jika Pengadilan Negeri memberikan putusan yang tidak memuaskan salah satu pihak, pihak tersebut dapat melakukan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi atau kasasi ke Mahkamah Agung sehingga butuh waktu yang relatif lama agar bisa berkekuatan hukum tetap)
2. Hakim yang "awam" (pada dasarnya hakim harus paham terhadap semua jenis hukum. namun jika sengketa yang terjadi terjadi pada bidang yang tidak dikuasai oleh hakim, maka hakim tersebut harus belajar lagi. Hal ini dikarenakan para pihak tidak bisa memilih hakim yang akan memeriksa perkara. Tentunya hal ini akan mempersulit penyusunan putusan yang adil sesuai dengan bidang sengketa. Hakim juga tidak boleh menolak untuk memeriksa suatu perkara karena hukumnya tidak ada atau tidak jelas. Jadi tidak boleh ada hakim yang menolak perkara. apalagi hanya karena dia tidak menguasai bidang sengketa tersebut.)
Berdasarkan konsekuensi bahwa putusan hakim akan memenangkan salah satu pihak dan mengalahkan pihak yang lain, maka berdasarkan hukum acara perdata di Indonesia Hakim wajib memerintahkan para pihak untuk melaksanakan mediasi (nanti akan dibahas lebih lanjut) untuk mendamaikan para pihak. Jika tidak dicapai perdamaian maka pemeriksaan perkara akan dilanjutkan. Meskipun pemeriksaan perkara dilanjutkan kesempatan untuk melakukan perdamaian bagi para pihak tetap terbuka (dan hakim harus tetap memberikannya meskipun putusan telah disusun dan siap untuk dibacakan). Jika para pihak sepakat untuk berdamai, hakim membuat akta perdamaian (acte van daading) yang pada intinya berisi para pihak harus menaati akta perdamaian tersebut dan tidak dapat mengajukan lagi perkara tersebut ke pengadilan. Jika perkara yang sama tersebut tetap diajukan ke pengadilan maka perkara tersebut akan ditolak dengan alasan ne bis in idem (perkara yang sama tidak boleh diperkarakan 2 kali) karena akta perdamaian tersebut berkekuatan sama dengan putusan yang final dan mengikat (tidak dapat diajukan upaya hukum).
1. Ruang lingkup pemeriksaannya yang lebih luas (karena sistem peradilan di Indonesia terbagi menjadi beberapa bagian yaitu peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan Tata Usaha Negara sehingga hampir semua jenis sengketa dapat diperiksa melalui jalur ini)
2. Biaya yang relatif lebih murah (Salah satu azas peradilan Indonesia adalah Sederhana, Cepat dan Murah)
Sedangkan kelemahan dari sistem ini adalah:
1. Kurangnya kepastian hukum (karena terdapat hierarki pengadilan di Indonesia yaitu Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung dimana jika Pengadilan Negeri memberikan putusan yang tidak memuaskan salah satu pihak, pihak tersebut dapat melakukan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi atau kasasi ke Mahkamah Agung sehingga butuh waktu yang relatif lama agar bisa berkekuatan hukum tetap)
2. Hakim yang "awam" (pada dasarnya hakim harus paham terhadap semua jenis hukum. namun jika sengketa yang terjadi terjadi pada bidang yang tidak dikuasai oleh hakim, maka hakim tersebut harus belajar lagi. Hal ini dikarenakan para pihak tidak bisa memilih hakim yang akan memeriksa perkara. Tentunya hal ini akan mempersulit penyusunan putusan yang adil sesuai dengan bidang sengketa. Hakim juga tidak boleh menolak untuk memeriksa suatu perkara karena hukumnya tidak ada atau tidak jelas. Jadi tidak boleh ada hakim yang menolak perkara. apalagi hanya karena dia tidak menguasai bidang sengketa tersebut.)
Berdasarkan konsekuensi bahwa putusan hakim akan memenangkan salah satu pihak dan mengalahkan pihak yang lain, maka berdasarkan hukum acara perdata di Indonesia Hakim wajib memerintahkan para pihak untuk melaksanakan mediasi (nanti akan dibahas lebih lanjut) untuk mendamaikan para pihak. Jika tidak dicapai perdamaian maka pemeriksaan perkara akan dilanjutkan. Meskipun pemeriksaan perkara dilanjutkan kesempatan untuk melakukan perdamaian bagi para pihak tetap terbuka (dan hakim harus tetap memberikannya meskipun putusan telah disusun dan siap untuk dibacakan). Jika para pihak sepakat untuk berdamai, hakim membuat akta perdamaian (acte van daading) yang pada intinya berisi para pihak harus menaati akta perdamaian tersebut dan tidak dapat mengajukan lagi perkara tersebut ke pengadilan. Jika perkara yang sama tersebut tetap diajukan ke pengadilan maka perkara tersebut akan ditolak dengan alasan ne bis in idem (perkara yang sama tidak boleh diperkarakan 2 kali) karena akta perdamaian tersebut berkekuatan sama dengan putusan yang final dan mengikat (tidak dapat diajukan upaya hukum).
Daftar
pustaka
Komentar
Posting Komentar