Langsung ke konten utama

Dasar Hukum Perlindungan Konsumen


Dasar Hukum Perlindungan Konsumen

11.1    Konsumen
          Pengertian konsumen menurut ketentuan pasal 1 angka 2 undang undang no 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen ,Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.

11.2    Asas dan tujuan

Asas perlindungan konsumen diatur dalam Pasal 2 UUPK 8/1999, yaitu sebagai berikut:

a. Asas Manfaat 
Segala upaya yang dilakukan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan. Dengan kata lain, tidak boleh hanya salah satu pihak saja yang memperoleh manfaat, sedangkan pihak lain mendapatkan kerugian.


b. Asas Keadilan 
Dalam hal ini, tidak selamanya sengketa konsumen di akibatkan oleh kesalahan pelaku usaha saja, tetapi bisa juga di akibatkan oleh kesalahan konsumen yang terkadang tidak tahu akan kewajibannya. Konsumen dan produsen/pelaku usaha dapat berlaku adil melalui perolehan hak dan kewajiban secara seimbang.


c. Asas Keseimbangan 
Asas keseimbangan ini dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara hak dan kewajiban para pelaku usaha dan konsumen. Menghendaki konsumen, produsen/pelaku usaha dan pmerintah memperoleh manfaat yang seimbang dari pengaturan dan penegakan hukum perlindungan konsumen.


d. Asas Keamanan dan Keselamatan 
Asas ini bertujuan untuk memberikan adanya jaminan hukum bahwa konsumen akan memperoleh manfaat dari produk yang dikonsumsi/dipakainya, dan sebaliknya bahwa produk itu tidak akan mengancam ketentraman dan keselamatan jiwa dan harta bendanya.


e. Asas Kepastian Hukum 
Asas ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum agar pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan menjalankan apa yang menjadi hak dan kewajibannya. Tanpa harus membebankan tanggung jawab kepada salah satu pihak, serta negara menjamin kepastian hukum.
Perlindungan konsumen bertujuan untuk memberikan kepastian dan keseimbangan hukum antara produsen dan konsumen sehingga terwujud suatu perekonomian yang sehat dan dinamis sehingga terjadi kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.

Tujuan perlindungan konsumen diatur dalam dalam Pasal 3 UUPK 8/1999, yaitu sebagai berikut:
  1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri. 
  2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian dan/atau jasa. 
  3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen. 
  4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.
Keinginan yang hendak dicapai dalam perlindungan konsumen adalah menciptakan rasa aman bagi konsumen dalam memenuhi kebutuhan hidup. Dalam menegakkan hukum perlindungan diperlukan pemberlakuan asas-asas yang berfungsi sebagai landasan penempatan hukum.

11.3    Hak dan Kewajiban Konsumen
Istilah perlindungan konsumen berkaitan dengan perlindungan hukum. Dengan keinginan untuk memberikan perlindungan terhadap kepentingan konsumen, maka kepentingan-kepentingan itu dirumuskan dalam bentuk hak. Secara umum terdapat empat hak dasar konsumen yang diakui secara internasional yaitu: Hak untuk mendapatkan keamanan (the right to safety), Hak untuk mendapatkan informasi (the right to be informed), Hak untuk memilih (the right to choose), Hak untuk didengar (the right to be heard) (Shidarta, 2000:16).

Hak-hak konsumen diatur dalam pasal 4 UUPK 8/1999, yaitu sebagai berikut:

  1. Hak atas kenyamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan atau jasa. 
  2. Hak untuk memilih barang dan jasa serta mendapatkan barang dan atau jasa tersebut dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan. 
  3. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi jaminan barang dan atau jasa. 
  4. Hak untuk di dengar pendapat dan keluhannya atas barang dan atau jasa yang digunakan. 
  5. Hak untuk mendapatkan advokasi perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut. 
  6. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen. 
  7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif. 
  8. Hak untuk mendapatkan kompensasi ganti rugi atau penggantian, apabila barang dan jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. 
  9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Sedangkan Kewajiban konsumen diatur dalam Pasal 5 UUPK 8/1999, yaitu sebagai berikut:

  1. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan atau jasa demi keamanan dan keselamatan. 
  2. Bertikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan jasa. 
  3. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati. 
  4. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
11.4    Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha 
Menurut Pasal 1 angka 4 dan 5 UUPK 8/1999, Pelaku Usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.
Pelaku usaha merupakan salah satu komponen yang turut bertanggung jawab dalam perlindungan konsumen. Maka di dalam berbagai peraturan perundang-undangan dibebankan sejumlah hak dan kewajiban serta hal-hal yang menjadi tanggung jawab pelaku usaha.

Hak pelaku usaha diatur dalam Pasal 6 UUPK 8/1999, yaitu sebagai berikut:

  1. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan. 
  2. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik. 
  3. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen.
Sedangkan kewajiban pelaku usaha diatur dalam Pasal 7 UUPK 8/1999, yaitu sebagai berikut:

  1. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.
  2. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif. 
  3. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku. 
  4. Memberikan kompensasi, ganti rugi, apabila barang dan/jasa yang diterima atau dimanfaatkan konsumen tidak sesuai dengan perjanjian.

11.5 Perbuatan Yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha
Pasal 8
1.   Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang:
a.    tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b.   tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
c.    tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;
d.   tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut,
e.    tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
f.     tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
g.    tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tersebut;
h.   tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label;
i.     tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat / isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus di pasang/dibuat;
j.     tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
2.   Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang, rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.
3.   Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa rnemberikan informasi secara lengkap dan benar.
4.   Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat 1 dan ayat 2 dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran.
Pasal 9
1.   Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah:
a.    barang tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga, harga khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu;
b.   barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru;
c.    barang dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan dan/atau memiliki sponsor persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau aksesori tertentu;
d.   barang dan/atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan atau afiliasi;
e.    barang dan/atau jasa tersebut tersedia;
f.     barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi;
g.    barang tersebut rnerupakan kelengkapan dari barang tertentu;
h.   barang tersebut berasal dari daerah tertentu;
i.     secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang dan/atau jasa lain;
j.     menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman tidak berbahaya, tidak mengandung risiko atau efek sampingan tanpa keterangan yang lengkap;
k.   menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.
2.   Barang dan/atau jasa sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilarang untuk diperdagangkan.
3.   Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap ayat 1 dilarang melanjutkan penawaran, promosi, dan pengiklanan barang dan/atau jasa tersebut.
Pasal 10
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai:
a.    harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa;
b.   kegunaan suatu barang dan/atau jasa;
c.    kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang dan/atau jasa;
d.   tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan;
e.    bahwa penggunaan barang dan/atau jasa.
Pasal 11
Pelaku usaha dalam hal penjualan yang dilakukan melalui cara obral atau lelang, dilarang mengelabui/menyesatkan konsumen dengan:
a.    menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah telah memenuhi standar mutu tertentu;
b.   menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah tidak mengandung cacat tersembunyi;
c.    tidak berniat untuk menjual barang yang ditawarkan melainkan dengan maksud untuk menjual barang lain;
d.   tidak menyediakan barang dalam jumlah tertentu dan/atau jumlah yang cukup dengan maksud menjual barang yang lain;
e.    tidak menyediakan jasa dalam kapasitas tertentu atau dalam jumlah cukup dengan maksud menjual jasa yang lain;
f.     menaikkan harga atau tarif barang dan/atau jasa sebelum melakukan obral.
Pasal 12
Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan suatu barang dan/atau jasa dengan harga atau tarif khusus dalam waktu dan jumlah tertentu, jika pelaku usaha tersebut tidak bermaksud untuk melaksanakannya sesuai dengan waktu dan jumlah yang ditawarkan, dipromosikan, atau diiklankan.
Pasal 13
1.   Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan suatu barang dan/atau jasa dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa lain secara cuma-cuma dengan maksud tidak memberikannya atau memberikan tidak sebagaimana yang dijanjikannya.
2.   Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan obat, obat tradisional, suplemen makanan, alat kesehatan, dan jasa pelayanan kesehatan dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa lain.
Pasal 14
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang, ditujukan untuk diperdagangkan dengan memberikan hadiah melalui cara undian, dilarang untuk:
a.    tidak melakukan penarikan hadiah setelah batas waktu yang dijanjikan;
b.   mengumumkan hasilnya tidak melalui media masa;
c.    memberikan hadiah tidak sesuai dengan yang dijanjikan;
d.   mengganti hadiah yang tidak setara dengan nilai hadiah yang dijanjikan;
Pasal 15
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa dilarang melakukan dengan cara pemaksaan atau cara lain yang dapat menimbulkan gangguan baik fisik maupun psikis terhadap konsumen.
Pasal 16
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa melalui pesanan dilarang untuk:
a.    tidak menepati pesanan dan/atau kesepakatan waktu penyelesaian sesuai dengan yang dijanjikan;
b.   tidak menepati janji atas suatu pelayanan dan/atau prestasi.
Pasal 17
1.   Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang:
a.    mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan dan harga barang dan/atau tarif jasa serta ketepatan waktu penerimaan barang dan/atau jasa;
b.   mengelabui jaminan/garansi terhadap barang dan/atau jasa;
c.    memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat mengenai barang dan/atau jasa;
d.   tidak memuat informasi mengenai risiko pemakaian barang dan/atau jasa;
e.    mengeksploitasi kejadian dan/atau seseorang tanpa seizin yang berwenang atau persetujuan yang bersangkutan;
f.     melanggar etika dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai periklanan.
2.   Pelaku usaha periklanan dilarang melanjutkan peredaran iklan yang telah melanggar ketentuan pada ayat 1.

11.5    Klausula baku dalam perjanjian
Pasal 18
1.   Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:
a.    menyatakan pengalihan tanggungjawab pelaku usaha;
b.   menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;
c.    menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
d.   menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung, maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
e.    mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
f.     memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
g.    menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
h.   menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli olch konsumen secara angsuran.
2.   Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.
3.   Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 dinyatakan batal demi hukum.
4.   Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan Undang-undang ini.

11.7 Tanggung Jawab Pelaku Usaha
Pasal 19
1.   Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
2.   Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3.   Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.
4.   Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.
5.   Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.
Pasal 20
Pelaku usaha periklanan bertanggung jawab atas iklan yang diproduksi dan segala akibat yang ditimbulkan oleh iklan tersebut.
Pasal 21
1.   Importir barang bertanggung jawab sebagai pembuat barang yang diimpor apabila importasi barang tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan produsen luar negeri.
2.   Importir jasa bertanggung jawab sebagai penyedia jasa asing apabila penyediaan jasa asing tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan penyedia jasa asing.
Pasal 22
Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat 4, Pasal 20, dan Pasal 21 merupakan beban dari tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian.
Pasal 23
Pelaku usaha yang menolak dan/atau tidak memberi tanggapan dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat 1, ayat 2, ayat 3, dan ayat 4, dapat digugat melalui badan penyelesaian sengketa konsumen atau mengajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen.
Pasal 24
1.   Pelaku usaha yang menjual barang dan/atau jasa kepada pelaku usaha lain bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila:
a.    pelaku usaha lain menjual kepada konsumen tanpa melakukan perubahan apa pun atas barang dan/atau jasa tersebut;
b.   pelaku usaha lain, di dalam transaksi jual beli tidak mengetahui adanya perubahan barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh pelaku usaha atau tidak sesuai dengan contoh, mutu, dan komposisi.
2.   Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dibebaskan dari tanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha lain yang membeli barang dan/atau jasa menjual kembali kepada konsumen dengan melakukan perubahan atas barang dan/atau jasa tersebut.
Pasal 25
1.   Pelaku usaha yang memproduksi barang yang pemanfaatannya berkelanjutan dalam batas waktu sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun wajib menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas purna jual dan wajib memenuhi jaminan atau garansi sesuai dengan yang diperjanjikan.
2.   Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat l bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha tersebut:
a.    tidak menyediakan atau lalai menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas perbaikan;
b.   tidak memenuhi atau gagal memenuhi jaminan atau garansi yang diperjanjikan.
Pasal 26
Pelaku usaha yang memperdagangkan jasa wajib memenuhi jaminan dan/atau garansi yang disepakati dan/atau yang diperjanjikan.
Pasal 27
Pelaku usaha yang memproduksi barang dibebaskan dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen, apabila:
a.    barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksudkan unluk diedarkan;
b.   cacat barang timbul pada kemudian hari;
c.    cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang;
d.   kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen;
e.    lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang dibeli atau lewatnya jangka waktu yang diperjanjikan.
Pasal 28
Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha.
11.8 Sanksi
Bagian Pertama
Sanksi Administratif
Pasal 60
1.   Badan penyelesaian sengketa konsumen berwenang menjatuhkan sanksi administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar Pasal 19 ayat 2 dan ayat 3, Pasal 20, Pasal 25, dan Pasal 26.
2.   Sanksi administratif berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
3.   Tata cara penetapan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan.
Bagian Kedua
Sanksi Pidana
Pasal 61
Penuntutan pidana dapat dilakukan terhadap pelaku usaha dan/atau pengurusnya.
Pasal 62
1.   Pelaku Usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat 2, Pasal 15, Pasal 1 ayat 1 huruf a, huruf b, huruf c, huruf c, ayat 2, dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
2.   Pelaku usaha yang, melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat 1, Pasal 14, Pasal 16, dan Pasal 17 ayat 1 huruf d dan huruf f dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000.00 (lima ratus juta rupiah).
3.   Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku.
Pasal 63
Terhadap sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62, dapat dijatuhkan hukuman tambahan, berupa:
a.    perampasan barang tertentu;
b.   pengumuman keputusan hakim;
c.    pembayaran ganti rugi;
d.   perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen;
e.    kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau
f.     pencabutan izin usaha.

LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN
USAHA TIDAK SEHAT
12.1 Pengertian Persaingan usaha tidak sehat
Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antarpelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.

12.2 Asas Dan Tujuan
Pasal 2
Pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum.
Pasal 3
Tujuan pembentukan undang-undang ini adalah untuk:
a.    menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat;
b.   mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil;
c.    mencegah praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha; dan
d.   terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.

12.3 Perjanjian Yang Dilarang
Bagian Pertama
Oligopoli
Pasal 4
(1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
(2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa, sebagaimana dimaksud ayat (1), apabila 2 (dua) atau 3 (tiga) pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
Bagian Kedua
Penetapan Harga
Pasal 5
(1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi:
a.    suatu perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha patungan; atau
b.   suatu perjanjian yang didasarkan undang-undang yang berlaku.
Pasal 6
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan atau jasa yang sama.
Pasal 7
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga di bawah harga pasar, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
Pasal 8
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa tidak akan menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya, dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
Bagian Ketiga
Pembagian Wilayah
Pasal 9
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan atau jasa sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Bagian Keempat
Pemboikotan
Pasal 10
(1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri.
(2) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya, untuk menolak menjual setiap barang dan atau jasa dari pelaku usaha lain sehingga perbuatan tersebut:
a.    merugikan atau dapat diduga akan merugikan pelaku usaha lain; atau
b.   membatasi pelaku usaha lain dalam menjual atau membeli setiap barang dan atau jasa dari pasar bersangkutan.
Bagian Kelima
Kartel
Pasal 11
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Bagian Keenam
Trust
Pasal 12
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerja sama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup masing-masing perusahaan atau perseroan anggotanya, yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Bagian Ketujuh
Oligopsoni
Pasal 13
(1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk secara bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan agar dapat mengendalikan harga atas barang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
(2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila 2 (dua) atau 3 (tiga) pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
Bagian Kedelapan
Integrasi Vertikal
Pasal 14
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan, baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat.
Bagian Kesembilan
Perjanjian Tertutup
Pasal 15
(1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan atau pada tempat tertentu.
(2) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa tertentu harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok.
(3) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian mengenai harga atau potongan harga tertentu atas barang dan atau jasa, yang memuat persyaratan bahwa pelaku usaha yang menerima barang dan atau jasa dari pelaku usaha pemasok:
harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok; atau
tidak akan membeli barang dan atau jasa yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok.
Bagian Kesepuluh
Perjanjian Dengan Pihak Luar Negeri
Pasal 16
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain di luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

13.1 Hal-Hal Yang Dikecualikan Dalam UU Anti Monopoli
Di dalam Undang-Undang Anti Monopoli Nomor 5 Tahun 1999,terdapat hal-hal yang dikecualikan,yaitu :
Pasal 50
a.    perbuatan dan atau perjanjian yang bertujuan melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b.    perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual seperti lisensi, paten, merek dagang, hak cipta, desain produk industri, rangkaian elektronik terpadu, dan rahasia dagang, serta perjanjian yang berkaitan dengan waralaba;
c.    perjanjian penetapan standar teknis produk barang dan atau jasa yang tidak mengekang dan atau menghalangi persaingan;
d.    perjanjian dalam rangka keagenan yang isinya tidak memuat ketentuan untuk memasok kembali barang dan atau jasa dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan;
e.    perjanjian kerja sama penelitian untuk peningkatan atau perbaikan standar hidup masyarakat luas;
f.     perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia;
g.    perjanjian dan atau perbuatan yang bertujuan untuk ekspor yang tidak mengganggu kebutuhan dan atau pasokan pasar dalam negeri;
h.    pelaku usaha yang tergolong dalam usaha kecil;
i.      kegiatan usaha koperasi yang secara khusus bertujuan untuk melayani anggotanya.
Pasal 51
Monopoli dan atau pemusatan kegiatan yang berkaitan dengan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak serta cabang-cabang produksi yang penting bagi negara diatur dengan undang-undang dan diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara dan atau badan atau lembaga yang dibentuk atau ditunjuk oleh Pemerintah.
13.2 Komisi Pengawas Persaingan Usaha
Pasal 30
(1)Untuk mengawasi pelaksanaan Undang-undang ini dibentuk Komisi Pengawas Persaingan Usaha yang selanjutnya disebut Komisi.
(2)Komisi adalah suatu lembaga independen yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan Pemerintah serta pihak lain.
(3)Komisi bertanggung jawab kepada Presiden.
Bagian Ketiga
Tugas

Pasal 35
Tugas Komisi meliputi:
a.melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 16;
b.melakukan penilaian terhadap kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 17 sampai dengan Pasal 24;
c.melakukan penilaian terhadap ada atau tidak adanya penyalahgunaan posisi dominan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 25 sampai dengan Pasal 28;
d.mengambil tindakan sesuai dengan wewenang Komisi sebagaimana diatur dalam Pasal 36;
e.memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
f.menyusun pedoman dan atau publikasi yang berkaitan dengan Undang-undang ini;
g.memberikan laporan secara berkala atas hasil kerja Komisi kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat.
Bagian Keempat
Wewenang
Pasal 36
Wewenang Komisi meliputi:
menerima laporan dari masyarakat dan atau dari pelaku usaha tentang dugaan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
melakukan penelitian tentang dugaan adanya kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
melakukan penyelidikan  dan atau pemeriksaan terhadap kasus dugaan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang dilaporkan oleh masyarakat atau oleh pelaku usaha atau menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud huruf e dan huruf f, yang tidak bersedia memenuhi panggilan Komisi;
meminta keterangan dari instansi Pemerintah dalam kaitannya dengan penyelidikan  dan atau pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini;
mendapatkan, meneliti, dan atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan  dan atau pemeriksaan;
memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak pelaku usaha lain atau masyarakat;
memberitahukan putusan Komisi kepada pelaku usaha yang diduga melakukan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-undang ini.

13.3 Sanksi

Bagian Pertama
Tindakan Administratif
Pasal 47
(1)Komisi berwenang menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-undang ini.
(2)Tindakan administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa:
a.penetapan pembatalan perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 13, Pasal 15, dan Pasal 16; dan atau
b.perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan integrasi vertikal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14; dan atau
c.perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan kegiatan yang terbukti menimbulkan praktek monopoli dan atau menyebabkan persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat; dan atau
d.perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan penyalahgunaan posisi dominan; dan atau
e.penetapan pembatalan atas penggabungan atau peleburan badan usaha dan pengambilalihan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28; dan atau
f.penetapan pembayaran ganti rugi; dan atau
g.pengenaan denda serendah-rendahnya Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah).
Bagian Kedua
Pidana Pokok
Pasal 48
(1)Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4, Pasal 9 sampai dengan Pasal 14, Pasal 16 sampai dengan Pasal 19, Pasal 25, Pasal 27, dan Pasal 28 diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 6 (enam) bulan.
(2)Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 5 sampai dengan Pasal 8, Pasal 15, Pasal 20 sampai dengan Pasal 24, dan Pasal 26 Undang-undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp 5.000.000.000,00 ( lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 5 (lima) bulan.
(3)Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 41 Undang-undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 3 (tiga) bulan.
Bagian Ketiga
Pidana Tambahan
Pasal 49
Dengan menunjuk ketentuan Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, terhadap pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 48 dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa:
a.pencabutan izin usaha; atau
b.larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap undang-undang ini untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan selama-lamanya 5 (lima) tahun; atau
c.penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian pada pihak lain.
Pengertian & Cara penyelesaian sengketa 
14.1 Pengertian Sengketa
          Pengertian sengketa dalam kamus Bahasa Indonesia, berarti pertentangan atau konflik, Konflik berarti adanya oposisi atau pertentangan antara orang-orang, kelompok-kelompok, atau organisasi-organisasi terhadap satu objek permasalahan. Senada dengan itu Winardi mengemukakan :
Pertentangan atau konflik yang terjadi antara individu-individu atau kelompok-kelompok yang mempunyai hubungan atau kepentingan yang sama atas suatu objek kepemilikan, yang menimbulkan akibat hukum antara satu dengan yang lain.

Sedangkan menurut Ali Achmad berpendapat :
Sengketa adalah pertentangan antara dua pihak atau lebih yang berawal dari persepsi yang berbeda tentang suatu kepentingan atau hak milik yang dapat menimbulkan akibat hukum bagi keduanya.

Dari kedua pendapat diatas maka dapat dikatakan bahwa sengketa adalah prilaku pertentangan antara dua orang atau lebih yang dapat menimbulkan suatu akibat hukum dan karenanya dapat diberi sangsi hukum bagi salah satu diantara keduanya.

14.2 Cara – cara Penyelesaian Sengketa
Penyelesaian sengketa secara damai bertujuan untuk mencegah dan mengindarkan kekerasan atau peperangan dalam suatu persengketaan antar negara. Menurut pasal 33 ayat 1 (Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan) Piagam PBB penyelesaian sengketa dapat ditempuh melalui cara-cara sebagai berikut:
1. Negosiasi (perundingan)
Perundingan merupakan pertukaran pandangan dan usul-usul antara dua pihak untuk menyelesaikan suatu persengketaan, jadi tidak melibatkan pihak ketiga.
2. Enquiry (penyelidikan)
Penyelidikan dilakukan oleh pihak ketiga yang tidak memihak dimaksud untuk mencari fakta.
3. Good offices (jasa-jasa baik)
Pihak ketiga dapat menawarkan jasa-jasa baik jika pihak yang bersengketa tidak dapat menyelesaikan secara langsung persengketaan yang terjadi diantara mereka.

Penyelesaian perkara perdata melalui sistem peradilan:
1. Memberi kesempatan yang tidak adil (unfair), karena lebih memberi kesempatan kepada lembaga-lembaga besar atau orang kaya.
2. Sebaliknya secara tidak wajar menghalangi rakyat biasa (ordinary citizens) untuk perkara di pengadilan.

Tujuan memperkarakan suatu sengketa:
1. adalah untuk menyelesaikan masalah yang konkret dan memuaskan,
2. dan pemecahannya harus cepat (quickly), wajar (fairly) dan murah (inexpensive)
Selain dari pada itu berperkara melalui pengadilan:
1. lama dan sangat formalistik (waste of time and formalistic),
2. biaya tinggi (very expensive),
3. secara umum tidak tanggap (generally unresponsive),
4. kurang memberi kesempatan yang wajar (unfair advantage) bagi yang rakyat biasa.
14.3 Negosiasi
Menurut Fisher R dan William Ury; Negoisasi adalah komunikasi dua arah dirancang untuk mencapai kesepakatan pada saat keduabelah pihak memiliki berbagai kepentingan yang sama atau berbeda.

Keuntungan Negosiasi :
a. Mengetahui pandanga pihak lawan;
b. Kesempatan mengutarakan isi hati untuk didengar piha lawan;
c. Memungkinkan sengketa secara bersama-sama;
d. Mengupayakan solusi terbaik yang dapat diterima oleh keduabelah pihak;
e. Tidak terikat kepada kebenaran fakta atau masalah hukum;
f. Dapat diadakan dan diakhiri sewaktu-waktu.

Kelemahan Negosiasi :
a. Tidak dapat berjalan tanpa adanya kesepakatan dari keduabelah pihak;
b. Tidak efektif jika dilakukan oleh pihak yang tidak berwenang mengambil
kesepakatan;
c. Sulit berjalan apabila posisi para pihak tidak seimbang;
d. Memungkinkan diadakan untuk menunda penyelesaian untuk mengetahui informasi yang dirahasiakan lawan;
e. Dapat membuka kekuatan dan kelemahan salahsatu pihak;
f. Dapat membuat kesepakan yang kurang menguntungkan.

Prasyarat Negosiasi yang efektif
a. Kemauan (Willingness) untuk menyelesaikan masalah dan bernegoisasi secara sukarela;
b. Kesiapan (Preparedness) melakukan negoisasi;
c. Kewenangan (authoritative) mengambil keputusan;
d. Keseimbangan kekuatan (equal bergaining power) ada sebagai saling ketergantungan;
e. Keterlibatan seluruh pihak (steaholdereship) dukungan seluruh pihak terkait;
f. Holistic (compehenship) pembahasan secara menyeluruh;
g. Masih ada komunikasi antara para pihak;
h. Masih ada rasa percaya dari para pihak
i. Sengketa tidak terlalu pelik
j. Tanpa prasangka dan segala komunikasiatau diskusi yang terjadi tidak dapat digunakan sebagai alat bukti

Tahapan Negosiasi menurut William Ury dibagi menjadi empat tahap yaitu :
Tahapan Persiapan :
1) Persiapan sebagai kunci keberhasialan;
2) Mengenal lawan, pelajari sebanyak mungkin pihak lawan dan lakukan penelitian;
3) Usahakan berfikir dengan cara berfikir lawan dan seolah-olah kepentingan lawan sama dengan kepentingan anda;
4) Sebaiknya persiapkan pertanyaan-pertanyaan sebelum pertemuan dan ajukan dalam bahasa yang jelas dan jangan sekali-kali memojokkan atau menyerang pihak lawan;
5) Memahami kepentingan kita dan kepentingan lawan;
6) Identifikasi masalahnya, apakah masalah tersebut menjadi masalah bersama?
7) Menyiapkan agenda, logistik, ruangan dan konsumsi;
8) Menyiapkan tim dan strategi;
9) Menentukan BTNA (Best Alternative to A Negitieted Agreement) alternative lain atau harga dasar (Bottom Line)

b. Tahap Orientasi dan Mengatur Posisi :
1) Bertukar Informasi;
2) Saling menjelaskan permasalahan dan kebutuhan;
3) Mengajuakan tawaran awal.

c. Tahap Pemberian Konsensi/ Tawar Menawar
1) Para pihak saling menyampaikan tawaranya, menjelaskan alasanya dan membujuk pihak lain untuk menerimanya;
2) Dapat menawarkan konsensi, tapi pastikan kita memperoleh sesuatu sebagai imbalanya;
3) Mencoba memahai pemikiran pihak lawan;
4) Mengidentifikasi kebutuhan bersama;
5) Mengembangkan dan mendiskusiakan opsi-opsi penyelesaian.

d. Tahapan Penutup
1) Mengevaluasi opsi-opsi berdasarkan kriteria obyektif
2) Kesepakatan hanya menguntungkan bila tidak ada lagi opsi lain yang lebih baik, bila tidak berhasil mencapai kesepakatan, membatalkan komitmen atau menyatakan tidak ada komitmen

14.4 Mediasi
Mediasi adalah cara penyelesaian dengan melibatkan pihak ketiga, yaitu pihak ketiga yang dapat diterima (accertable) Artinya para pihak yang bersengketa mengizinkan pihak ketiga untuk membantu para rihak yang bersengketa dan membantu para pihak untuk mencapai penyenyelesaian. Meskipun demikianak septabilitas tidak berarti- para pihak selalu berkehendak untuk melakukan atau menerima sepenuhnya apa yang dikemukakan pihak ketiga. Mediasi menurut P.1.6 PerMa No.2 Tahun 2003 : Yaitu suatu penyelesaian sengketa melalui proses perundingan para pihak dibantu oleh mediator.

Karakteristik Mediasi :
a. Intervesi mediator dapat diterima kedua belah pihak;
b. Mediator tidak berwenang membuat keputusan, hanya mendengarkan membujuk dan memberikan inspirasi kepada para pihak.

Mediasi Menurut Hukum Positif : Peraturan Mahkamah Agung RI. No.2 Tahun 2003 Tentang Prosedur Mediasi di pengadilan, konsideranya adalah; untuk mengurangi penumpukan perkara, merupakan salah satu cara menyelesaikan perkara lebih cepat dan murah, bersesuian dengan Pasal 130 HIR atau pasal P 153 RBg.

Sifat Mediasi :
a. Wajib (Mandatory) P.2 (1) atas seluruh perkara perdata yang diajukan kepengadilan Tk.1
b. Hakim mewajibkan para pihak menempuh lebih dahulu proses mediasi;
c. Hakim wajib memunda siadang dan memberikan kesempatan para pihak untuk mediasi;
d. Hakim wajib memberikan penjelasan ttg prosedur mediasi dan biayanya;
e. Apabila para pihak diwakili Penasehat Hukum maka setriap keputusan yang diambil harus memperoleh persetujuan tertulis dari para pihak;
f. Proses mediasi pada dasarnya tidak bersifat terbuka untu umum, kecuali para pihak menghendaki lain, sedangkan mediasi untuk kepentingan publik terbuka untuk umum.

Hak memilih mediator oleh para pihak :
a. Mediator ditunjuk (disepakati) oleh para pihak, dapat dari dalam peradilan (hakim) yang sudah mendapat sertifikat sebagai mediator, atau pihak dari luar pengadilan yang sudah bersetrifikat;
b. Jika para pihak dapat sepakat dalam memilih mediator maka ketua majelis hakim dapat menetapkan menunjuk mediator yang terdaftar dalam PN tersebut;
c. Waktu paling lama satu hari kerja setelah sidang pertama;
d. Ketua atau anggota majelis hakim di larang sebagai mediator

Kewajiban Mediator :
a. Mediator wajib menyusin jadwal mediasi;
b. Mediator wajib mendorong dan menelurusi serta mengali kepentingan para pihak;
c. Mediator wajib mencari berbagi pilihan penyelesain;
d. Mediator wajib merumuskan kesepakatan secara tertulis;
e. Mediator wajib memuat klausa pencabutan perkara;
f. Mediator wajib memeriksa kesepakan untuk menghindari jika ada klausa yang bertentangam dengan hukum;
g. Setelah 22 hari melalui mediasi tidak berhasil, maka mediator wajib menyatakan secara tertulis bagwa mediasi telah gagal dan memberikan pemberitahuan kepada majelis hakim;
h. Jika mediasi gagal, maka semua fotokopi, notulen, catatan mediator wajib dimusnahkan

Waktu dan Tempat Mediasi :
a. Paling lama 30 hari, bagi mediator di luar PN dapat di perpanjang;
b. 22 hari setelah ditunjuknya mediator;
c. 7 hari setelah mediator ditunjuk para pihak wajib menyerahkan fotokopi dokumen perkara (duduk perkara, susrt-surat, dll );
d. Mediasi dapat diselengarakan disalah satu ruangan pengadialan atau tempat lain yang disepakati para pihak

Hal-hal lain yang perlu di perhatikan :
a. Para pihak dapat di dampingi oleh penasehat hukum;
b. Para pihak wajib menhadap kembali kepada majelis haim yang memeriksa perkara;
c. Kesepakatan hasil mediasi di tandatangani oleh para pihak dan dapat dikukuhkan majelis hakim sebagai akta perdamaian;
d. Mediator dapat melakukan kaukus;
e. Mediator dengan kesepakatan para pihak dapat mengundang ahli;
f. Jika mediasi gagal, maka pernyataan dan pengakuan para pihak tidak dapat digunakan sebagai alat bukti persidangan;
g. Mediator tidak dapat dijadikan saksi di pengadilan;
h. Mediasi di pengadilan tidak di pungut biaya, sedangkan di tempat lain biaya di bebenkan kepada para pihak;
i. Mediasi oleh hakim tidak dipungut biaya, sedangkan mediator bukan hakim ditangung oleh para pihak atas kesepakatan.

14.5 Arbitrase
Arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa yang mirip dengan litigasi, hanya saja litigasi ini bisa dikatakan sebagai "litigasi swasta" Dimana yang memeriksa perkara tersebut bukanlah hakim tetapi seorang arbiter. Untuk dapat menempuh prosesi arbitrase hal pokok yang harus ada adalah "klausula arbitrase" di dalam perjanjian yang dibuat sebelum timbul sengketa akibat perjanjian tersebut, atau "Perjanjian Arbitrase" dalam hal sengketa tersebut sudah timbul namun tidak ada klausula arbitrase dalam perjanjian sebelumnya. Klausula arbitrase atau perjanjian arbitrase tersebut berisi bahwa para pihak akan menyelesaikan sengketa melalui arbitrase sehingga menggugurkan kewajiban pengadilan untuk memeriksa perkara tersebut. Jika perkara tersebut tetap diajukan ke Pengadilan maka pengadilan wajib menolak karena perkara tersebut sudah berada di luar kompetensi pengadilan tersebut akibat adanya klausula arbitrase atau perjanjian arbitrase.

14.6 Perbandingan antara Perundingan, Arbitrase dan Ligitasi

A. PERUNDINGAN
Negosiasi adalah cara penyelesaian sengketa dimana para pihak yang bersengketa saling melakukan kompromi untuk menyuarakan kepentingannya. Dengan cara kompromi tersebut diharapkan akan tercipta win-win solution dan akan mengakhiri sengketa tersebut secara baik.

B. ARBITRASE
Arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa yang mirip dengan litigasi, hanya saja litigasi ini bisa dikatakan sebagai "litigasi swasta" Dimana yang memeriksa perkara tersebut bukanlah hakim tetapi seorang arbiter. Untuk dapat menempuh prosesi arbitrase hal pokok yang harus ada adalah "klausula arbitrase" di dalam perjanjian yang dibuat sebelum timbul sengketa akibat perjanjian tersebut, atau "Perjanjian Arbitrase" dalam hal sengketa tersebut sudah timbul namun tidak ada klausula arbitrase dalam perjanjian sebelumnya. Klausula arbitrase atau perjanjian arbitrase tersebut berisi bahwa para pihak akan menyelesaikan sengketa melalui arbitrase sehingga menggugurkan kewajiban pengadilan untuk memeriksa perkara tersebut. Jika perkara tersebut tetap diajukan ke Pengadilan maka pengadilan wajib menolak karena perkara tersebut sudah berada di luar kompetensi pengadilan tersebut akibat adanya klausula arbitrase atau perjanjian arbitrase. Beberapa keunggulan arbitrase dibandingkan litigasi antara lain:
1. Arbitrase relatif lebih terpercaya karena Arbiter dipilih oleh para pihak yang bersengketa. Arbiter dipilih oleh para pihak sendiri dan merupakan jabatan yang tidak boleh dirangkap oleh pejabat peradilan manapun. Dalam hal para pihak tidak bersepakat dalam menentukan arbiter maka arbiter akan ditunjuk oleh ketua Pengadilan Negeri. Hal ini berbeda dengan litigasi karena para pihak tidak dapat memilih hakim yang memeriksa perkara. Calon arbiter yang ditunjuk juga boleh menolak penunjukan tersebut.
2. Arbiter merupakan orang yang ahli di bidangnya sehingga putusan yang dihasilkan akan lebih cermat. Dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dinyatakan bahwa salah satu syarat untuk menjadi arbiter adalah berpengalaman aktif di bidangnya selama 15 tahun. Hal ini tentunya berbeda dengan hakim yang mungkin saja tidak menguasai bidang yang disengketakan sehingga harus belajar bidang tersebut sebelum memeriksa perkara.
3. Kepastian Hukum lebih terjamin karena putusan arbitrase bersifat final dan mengikat para pihak. Pihak yang tidak puas dengan putusan arbitrase tidak dapat mengajukan upaya hukum. namun putusan tersebut dapat dibatalkan jika terjadi hal-hal tertentu seperti dinyatakan palsunya bukti-bukti yang dipakai dalam pemeriksaan setelah putusan tersebut dijatuhkan atau putusan tersebut dibuat dengan itikad tidak baik dari arbiter.
Sedangkan kelemahannya antara lain:
1. Biaya yang relatif mahal karena honorarium arbiter juga harus ditanggung para pihak (atau pihak yang kalah)
2. Putusan Arbitrase tidak mempunyai kekuatan eksekutorial sebelum didaftarkan ke Pengadilan Negeri.
3. Ruang lingkup arbitrase yang terbatas hanya pada sengketa bidang komersial (perdagangan, ekspor-impor, pasar modal, dan sebagainya).

C. LIGITASI
Litigasi adalah sistem penyelesaian sengketa melalui lembaga peradilan. Sengketa yang terjadi dan diperiksa melalui jalur litigasi akan diperiksa dan diputus oleh hakim. Melalui sistem ini tidak mungkin akan dicapai sebuah win-win solution (solusi yang memperhatikan kedua belah pihak) karena hakim harus menjatuhkan putusan dimana salah satu pihak akan menjadi pihak yang menang dan pihak lain menjadi pihak yang kalah. Kebaikan dari sistem ini adalah:
1. Ruang lingkup pemeriksaannya yang lebih luas (karena sistem peradilan di Indonesia terbagi menjadi beberapa bagian yaitu peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan Tata Usaha Negara sehingga hampir semua jenis sengketa dapat diperiksa melalui jalur ini)
2. Biaya yang relatif lebih murah (Salah satu azas peradilan Indonesia adalah Sederhana, Cepat dan Murah)
Sedangkan kelemahan dari sistem ini adalah:
1. Kurangnya kepastian hukum (karena terdapat hierarki pengadilan di Indonesia yaitu Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung dimana jika Pengadilan Negeri memberikan putusan yang tidak memuaskan salah satu pihak, pihak tersebut dapat melakukan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi atau kasasi ke Mahkamah Agung sehingga butuh waktu yang relatif lama agar bisa berkekuatan hukum tetap)
2. Hakim yang "awam" (pada dasarnya hakim harus paham terhadap semua jenis hukum. namun jika sengketa yang terjadi terjadi pada bidang yang tidak dikuasai oleh hakim, maka hakim tersebut harus belajar lagi. Hal ini dikarenakan para pihak tidak bisa memilih hakim yang akan memeriksa perkara. Tentunya hal ini akan mempersulit penyusunan putusan yang adil sesuai dengan bidang sengketa. Hakim juga tidak boleh menolak untuk memeriksa suatu perkara karena hukumnya tidak ada atau tidak jelas. Jadi tidak boleh ada hakim yang menolak perkara. apalagi hanya karena dia tidak menguasai bidang sengketa tersebut.)
Berdasarkan konsekuensi bahwa putusan hakim akan memenangkan salah satu pihak dan mengalahkan pihak yang lain, maka berdasarkan hukum acara perdata di Indonesia Hakim wajib memerintahkan para pihak untuk melaksanakan mediasi (nanti akan dibahas lebih lanjut) untuk mendamaikan para pihak. Jika tidak dicapai perdamaian maka pemeriksaan perkara akan dilanjutkan. Meskipun pemeriksaan perkara dilanjutkan kesempatan untuk melakukan perdamaian bagi para pihak tetap terbuka (dan hakim harus tetap memberikannya meskipun putusan telah disusun dan siap untuk dibacakan). Jika para pihak sepakat untuk berdamai, hakim membuat akta perdamaian (acte van daading) yang pada intinya berisi para pihak harus menaati akta perdamaian tersebut dan tidak dapat mengajukan lagi perkara tersebut ke pengadilan. Jika perkara yang sama tersebut tetap diajukan ke pengadilan maka perkara tersebut akan ditolak dengan alasan ne bis in idem (perkara yang sama tidak boleh diperkarakan 2 kali) karena akta perdamaian tersebut berkekuatan sama dengan putusan yang final dan mengikat (tidak dapat diajukan upaya hukum).


Daftar pustaka











Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tata Cara Permohonan HKI

Tata Cara Permohonan HKI #pertemuan_3 Hak kekayaan intelektual (HKI) adalah hak hukum yang menjamin bahwa seorang penemu/pencipta dapat memperoleh hak-haknya secara eksklusif baik secara materiel maupun imateriel atas karya yang dihasilkan. HKI mengacu pada dua hal secara umum, yaitu hak cipta dan hak milik industri. 10.1 Hak Cipta Hak cipta  adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberi izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Syarat-syarat permohonan pendaftaran hak cipta : 1. Nama, kewarganegaraan dan alamat pencipta. 2. Nama, kewarganegaraan dan alamat pemegang hak cipta. 3. Judul ciptan. 4. Tanggal dan tempat diumumkan untuk pertama kali. 5. Uraian singkat Ciptaan. 6. Contoh ciptaan dengan ketentuan sebagai berikut : ·          Buku dan Karya Tulis lainnya : 2 buah yang te...

Bentuk Badan Usaha Dan Hukum Yang Menyertainya

Bentuk Badan Usaha Dan Hukum Yang Menyertainya Nama : Veraisya Putri I NPM : 26217072 Kelas : 2EB16 Pertemuan 2 7.1 Pengertian Badan Usaha Badan usaha adalah kesatuan yuridis/hukum dan ekonomis yang memiliki tujuan untuk mencari laba atau keuntungan. Ada banyak contoh dan jenis-jenis badan usaha yang ada di indonesia, bisa berupa koperasi, badan usaha milik negara (bumn) dan juga badan usaha milik swasta (bums). Badan usaha berbeda dengan perusahaan. Perbedaan badan usaha dan perusahaan adalah pada badan usaha bersifat sebagai lembaga, sementara perusahaan adalah tempat di mana badan usaha itu mengelola faktor-faktor produksi dalam kegiatan usaha. Di indonesia ada banyak macam-macam badan usaha yang ada. Secara umum bentuk-bentuk badan usaha dibedakan menjadi dua yakni badan usaha milik negara serta badan usaha milik swasta . Ada juga jenis usaha koperasi yang menyokong perekonomian rakyat. 7.2 Perseroan Terbatas (PT) Perseroan terbatas negara atau Per...